Boleh dikata, tanpa organisasi advokat yang mandiri, terhormat, kuat dan berwibawa, hilang pula kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Otomatis, hilang pula harapan akan adanya negara hukum modern yang demokratis, yang menghormati hak asasi manusia.
Indonesia pernah mengalami kejayaan, ketika organisasi advokat begitu dihormati, tidak hanya di kalangan pemerintahan, tapi juga di antara pelaku kekuasaan kehakiman dan para penegak hukum.
Adalah Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang didirikan di Solo pada 30 Agustus 1964, yang sampai saat ini masih menduduki tempat terhormat dalam sejarah organisasi advokat yang kredibel dan independen di Indonesia.
Posisi PERADIN pada masa itu, yang menolak penyelewengan cita-cita negara hukum yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, telah menjadikan PERADIN memperoleh citra sebagai anak nakal oleh pemerintah.
Meski demikian, PERADIN pada masa itu tetap diakui sebagai organisasi wadah tunggal dari advokat, baik oleh pemerintah, Mahkamah Agung, maupun Jaksa Agung.
PERADIN telah begitu baik melakukan peranannya dalam melakukan pembaharuan hukum, terutama keterlibatan aktifnya dalam beragam pembahasan UU yang dirasa mampu membelenggu hak asasi manusia.
Tak hanya itu, PERADIN juga memprakarsai pembentukan organisasi bantuan hukum yang pertama kali dikelola secara modern untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum di Indonesia yang sekarang lebih dikenal dengan LBH/YLBHI.
Peran PERADIN yang begitu kuat telah membuat pemerintah pada masa itu berupaya membendung dengan cara memecah PERADIN dengan membuat beragam organisasi profesi hukum. Puncaknya adalah meleburkan berbagai organisasi profesi hukum, termasuk PERADIN, ke dalam satu organisasi advokat yang dikenal dengan nama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) yang dibentuk pada 8-10 November 1985.
Sejak itu, peran organisasi advokat di Indonesia mulai meredup dan kiprahnya dalam menjaga cita-cita negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, pembaharuan hukum, dan menjaga kehormatan masyarakat profesi hukum, tidak lagi nyaring terdengar seperti pada masa PERADIN, karena tergantikan oleh peran yang dimainkan secara agresif oleh YLBHI.
Seiring dengan mulai terpecahnya IKADIN pada 1990-an ke dalam berbagai organisasi advokat, mulai Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), maka dunia organisasi profesi advokat pun menjadi suram.
Tak ada lagi terdengar bagaimana peran organisasi advokat dalam membendung makin mengguritanya kekuasaan rezim Orde Baru yang mengangkangi hak asasi manusia.
Harapan terwujudnya organisasi advokat yang mandiri, kuat, berwibawa, dan terhormat pun segera meledak saat pemerintah dan DPR menyepakati untuk mengesahkan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Masyarakat Indonesia pun menanti dengan penuh harap akan peranan dari jabang bayi organisasi advokat, yang pembentukannya melalui perintah UU, terhadap cita-cita negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, pembaharuan hukum, dan menjaga kehormatan masyarakat profesi hukum.
Sebagai klimaks adalah pembentukan organisasi advokat yang bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang dibentuk melalui deklarasi para pimpinan delapan organisasi advokat, yaitu, Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) di Jakarta pada 7 April 2005.
Perhelatan besar ini dihadiri lebih dari 600 advokat Indonesia dan juga dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.
Namun, di usianya masih belia, organisasi advokat, khususnya PERADI, ternyata mendapat tantangan perpecahan kembali dengan berdirinya Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang didirikan di Jakarta pada 30 Mei 2008 dan juga diaktifkannya kembali Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) pada perayaan hari jadi PERADIN ke 44 pada 30 Agustus 2008 di Jakarta.
Ketiga organisasi advokat ini pun mengklaim sebagai organisasi profesi advokat yang diamanatkan oleh UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Namun, sangat disayangkan, tidak satu pun dari organisasi advokat ini yang menunjukkan kiprahnya sebagai organisasi advokat sejati yang menjadi penjaga terdepan pada tegaknya prinsip-prinsip negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, pembaharuan hukum, dan menjaga kehormatan masyarakat profesi hukum.
PERADI, KAI, dan PERADIN nampak gagap dalam beragam isu pembaharuan hukum yang berpihak pada hak asasi manusia di antaranya isu RUU Rahasia Negara, Rancangan KUHAP, dan Rancangan KUHP.
Tak hanya itu, RUU Pengadilan Tipikor yang akan dibentuk melalui perintah Mahkamah Konstitusi pun tak terdengar kiprah dari tiga organisasi advokat ini. Bahkan ketiga organisasi advokat ini pun tidak bersuara dalam menyikapi problem hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia.
Tak pelak, masyarakat hukum Indonesia pun menilai bahwa konflik perpecahan di antara para advokat hanyalah konflik kepentingan dan tidak ada isu yang sangat prinsip berkaitan dengan tegaknya prinsip-prinsip negara hukum, perlindungan hak asasi manusia, pembaharuan hukum, dan menjaga kehormatan masyarakat profesi hukum.
Perpecahan yang dilandasi konflik kepentingan jelas merugikan, tidak hanya kepentingan masyarakat luas, namun juga kepentingan advokat sendiri menjadi tidak terlindungi.
Perpecahan organisasi advokat telah menjadi penanda yang jelas bahwa cita-cita pembentukan negara hukum modern yang demokratis dan melindungi hak asasi manusia di Indonesia menjadi semakin sirna.