Celah itu adalah Pasal 8 Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2004 yang menyatakan apabila pejabat tata usaha negara (TUN) yang digugat punya waktu proses transisi 90 hari sejak keputusan dikeluarkan.
"Apabila tidak dilaksanakan dalam waktu 90 hari oleh pejabat tata usaha negara maka dengan sendirinya setelah 90 hari, yaitu 22 Oktober (2009) putusan (MA) itu dinyatakan tidak berlaku," kata anggota KPU I Gusti Putu Artha, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (29/7).
Menurutnya, KPU masuk dalam kategori pejabat tata usaha negara. Karena itu, tegas dia, aturan dalam Perma itu dapat diberlakukan kepada KPU.
Putu menjelaskan arti dari Perma itu secara teknis sebetulnya putusan MA belum menjadi norma hukum positif karena adanya kata 90 hari. Ditambahkannya, putusan MA tentang pembatalan Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2009 itu baru menjadi norma hukum positif jika dilaksanakan oleh KPU dalam batas waktu 90 hari.
"Kalau kita tidak eksekusi, sampai 90 hari berarti tidak berlaku (pembatalan) Peraturan (KPU) nomor 15 ini. Intinya 1 Oktober itu sudah ada pelantikan (anggota DPR)," ungkap Putu.
Lebih lanjut, Putu menjelaskan sampai saat ini MA belum bisa membatalkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 itu sebagai sebuah norma hukum positif yang berlaku mengikat.
"Jadi MA itu kan tidak punya kekuatan hukum memaksa. Lihat di UU MA Nomor 5 Tahun 2004, kalau kita tidak laksanakan keputusan MA, maka pidananya tidak ada. Bahkan di peraturan MA juga tidak ada," tandasnya.
Selain itu, Putu mengisyaratkan KPU tidak ingin melaksanakan putusan MA karena implikasinya yang sangat besar terhadap perolehan kursi parpol di DPR yang sudah ditetapkan KPU sebelumnya.
Pasalnya, lanjut dia, seluruh putusan itu kalau dilaksanakan maka komposisi perolehan anggota DPR, DPRD Provinsi dan kota/kabupaten semuanya harus dirombak kembali. "Sehingga kalau dilaksanakan putusan MA maka ada reposisi luar biasa nanti dan itu persoalannya," tegas dia.