Untuk itu Thahir menyarankan mereduksi satu kewenangan MA untuk meringankan beban MA. Kewenangan dimaksud adalah pengawasan ‘non judicial'. "Apakah masih mungkin tugas pengawasan non judicial itu diberikan kepada Mahkamah Agung? Itu persoalan besar."
Di satu sisi Thahir mengetahui bahwa dasar hukum MA melakukan pengawasan non-yudisial itu terletak pada UU No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di sisi lain, Thahir menyitir ketentuan UUD 1945 yang tak menyebutkan secara tegas bahwa MA berwenang melakukan pengawasan non yudisial.
Oleh karena itu, Thahir berpendapat pengawasan internal MA ditiadakan. Sebagai gantinya, ia mendesak agar pemerintah dan DPR memberikan kewenangan yang lebih besar kepada KY untuk mengawasi MA. "Tapi tidak cukup hanya diberikan kewenangan pengawasan. KY harus diberikan peran yang lebih besar dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, keluhuran martabat dan perilaku hakim."
Di acara yang sama, Kepala Badan Pengawasan MA, M. Syarifuddin, menyanggah pendapat Thahir. Menurut dia, justru peran Badan Pengawasan MA harus lebih ditingkatkan. "Karena sesungguhnya kita yang ada di badan pengawasan ini dapat menjangkau dengan cepat melalui pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama dimana penyimpangan-penyimpangan ini terjadi."
Sejauh ini, aku Syarifuddin, Badan Pengawasan yang terdiri dari 27 orang telah melakukan pengawasan secara instensif. "Terkadang nggak sempat pulang. Hanya menerima koper pakaian kotor dan koper pakaian bersih diantar oleh istri di bandara. Langsung berangkat ke tempat tugas untuk pengawasan ini."
Bahkan, lanjut Syarifuddin, tiap 3 bulan sekali hasil kerja Badan Pengawas selalu dipublikasikan lewat website Mahkamah Agung. Ia juga mengungkapkan data di tahun 2008, Badan Pengawasan sudah melakukan tindakan kepada 92 personil pengadilan yang 38 diantaranya adalah hakim. Selebihnya adalah panitera, panitera muda dan pejabat lainnya. Sementara dari periode Januari 2009-Juni 2009 Badan Pengawasan telah menindak 90 personilnya yang 40 orang diantaranya adalah hakim.
Pertanyakan Data
Ketua Badan Pengurus YLBHI, Patra M Zein mempertanyakan data angka yang diungkapkan oleh Syarifuddin. "Kalau informasi ini benar, ada dua kemungkinan. Pertama pengawasan internal dan eksternal oleh MA da KY sudah berjalan baik. Dari ribuan hakim hanya 90 yang saat ini dinyatakan dalam website MA itu telah melanggar kode etik. Masyarakat sangat mengapresiasi. Problemnya justru kalau tidak semua kasus dan pengaduan dan penyimpangan ditindak lanjuti atau diketahui."
Menanggapi pendapat Patra, Syarifuddin menyatakan bahwa dia belum puas dengan kerja timnya. "Ya jelas kita belum merasa puas. Seperti yang saya sampaikan tadi kita inginkan dengan semakin efektifnya pengawasan ini maka laporan itu semakin lama semakin berkurang. Dengan efektifnya pengawasan, yang tidak baik-tidak baiknya itu tersaring semua. Kita ingin seperti itu. Kalo laporannya banyak artinya pengawasannya belum maksimal jadi kita harus terus lagi."
Pengamat sekaligus praktisi hukum Bambang Wijoyanto dalam acara yang sama juga sempat mengkritik pengawasan yang selama ini dilakukan. Menurutnya pengawasan yang dijalankan saat ini, lebih mencari-cari kesalahan daripada menemukan solusi untuk kemajuan. "Bicara soal pengawasan agak harus hati-hati. Dalam banyak sistem pengawasan, tujuan pengawasan adalah mencari kesalahan. Jarang sekali yang namanya tujuan menemukan kelemahan di dalam sistem dan mencari solusi untuk kelemahan itu. Pengawasan kita ke depan mau bagaimana? Mau tetap cari-cari kesalahan atau membangun sebuah sistem yang tidak perlu lagi terjadi kesalahan yang serupa?"