Seperti diketahui, pertumbuhan tinggi badan (TB) anak selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga faktor lingkungan dan faktor hormon. Faktor genetik terkait dengan tinggi badan kedua orangtua. Ibu-bapak yang berperawakan tinggi, anak-anaknya pun kelak akan bertubuh tinggi. Begitu sebaliknya pada orangtua yang relatif pendek, kemungkinan anaknya akan berbadan pendek pula. Sepanjang tak ada kelainan genetik dan masalah gangguan kesehatan, anak dapat tumbuh dengan normal. Sementara, faktor yang dapat memengaruhi TB anak, antara lain gizi yang diperoleh sejak dalam kandungan, kondisi kesehatan anak, dan kondisi psikologis, dalam hal ini berkaitan dengan kasih sayang kedua orangtua.
Akan halnya faktor hormon yang memengaruhi TB adalah hormon pertumbuhan (growth hormone), IGF 1 (insulin like growth factor), dan hormon tiroid. Hormon pertumbuhan yang terdiri atas sekitar 191 asam amino spesifik yang terikat dalam struktur tiga dimensi ini, diproduksi di bagian depan kelenjar hipofisis di otak, berfungsi di masa fase anak dan pubertas.
Anak yang kekurangan hormon akan mengalami kekerdilan. Memang, saat lahir, pertumbuhan anak (dalam hal ini TB) akan tampak normal. Namun, setelah usia 1-2 tahun pertumbuhannya melambat. Kurangnya hormon pertumbuhan bisa karena kongenital atau ada sesuatu di otak, seperti tumor otak sehingga otak tidak dapat memproduksi hormon pertumbuhan tersebut atau ada kelainan pada reseptornya.
Untuk mengetahui anak memang betul pendek karena kekurangan hormon pertumbuhan tentu harus dipastikan dengan pemeriksaan hormon tersebut melalui uji stimulasi yang dilakukan di klinik atau rumah sakit. Pemberian hormon pertumbuhan yang sintetis bisa dilakukan dari luar lewat suntikan pen khusus atau dengan alat khusus tanpa jarum.
Tak boleh sembarangan
Pemberian hormon pertumbuhan tentu harus dilakukan oleh ahli, tepatnya dokter endokrinologi anak. Yang perlu diketahui, pemberian hormon memiliki efek samping. Pengaturan dosis dan juga evaluasi pengobatan harus dilakukan oleh dokter yang kompeten.
Hormon pertumbuhan hanya diberikan kepada anak bertubuh pendek yang memiliki indikasi antara lain: memang ada defisiensi hormon pertumbuhan dengan gejala adanya penurunan massa otot, tulang lemah, dan kadar berbagai lemak darah abnormal; anak mempunyai berat badan lahir kurang dari 2.500 gr (BBLR) dan ketika usianya 2 tahun tetap tampak kecil dibandingkan teman sebayanya; anak mengalami kemunduran perlahan pada fungsi ginjalnya yang menyebabkan penimbunan limbah metabolik di dalam darah; anak berbadan pendek tanpa suatu sebab patologis dan mengalami sindrom Turner atau sindrom Prader Willy. Pada anak-anak yang tidak memiliki indikasi medis tadi tak boleh disuntikkan hormon pertumbuhan ini.
Dari penelitian yang ada, pemberian hormon pertumbuhan pada anak yang mengalami gangguan pertumbuhan tersebut responsnya cukup baik. Bila pertumbuhan anak sudah normal sesuai potensi genetiknya, tentunya efek hormon pertumbuhan menjadi minimal sekali atau bahkan mungkin tidak ada.
Pemberian hormon pertumbuhan dilakukan sebanyak 7 kali dalam seminggu, dilakukan hingga bertahun-tahun sampai potensi pertumbuhannya sudah berhenti, untuk anak perempuan sampai usia 13-14 tahun, dan anak laki-laki sekitar 18 tahun. Umumnya pada anak perempuan, setelah mengalami menstruasi, pertumbuhan TB-nya akan berhenti, tak bertambah tinggi lagi.
Penelitian di Belanda juga mengungkap, pemberian hormon pertumbuhan selama 14 tahun saja ternyata rata-rata bisa menambah TB 7 cm/tahun. Untuk anak perempuan, penambahan TB sekitar 5-7 cm, sementara untuk anak laki-laki sekitar 6-9 cm. Meskipun hanya bertambah 7 cm, bagi anak yang merasa pendek, itu sudah cukup berarti.
Kalau usia potensi pertumbuhan sudah dilewati, di usia 18-20 tahun, otomatis tak ada obat maupun alat yang dapat membantu meninggikan badan.
(Dedeh Kurniasih/Nakita)
Narasumber: Dr. Aman Pulungan Sp.A (K)., dari divisi Endokrinologi bagian Ilmu Kesehatan Anak, RS Ciptomangunkusumo, Jakarta, Konsultan Endokrin Klinik Anakku Cinere dan RS Pondok Indah.