Hal tersebut seperti dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat rapat hak angket BBM, di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Kamis (19/2/2009).
Ekspor tersebut meningkat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar USD2,41 miliar, dengan volume 34,75 juta barel dan harga ICP USD69,46 per barel.
Namun dari total angka tersebut, ekspor Pertamina pada 2008 mengalami penurunan yakni hanya sebesar USD1,18 miliar dengan volume 13,33 juta barel dibandingkan 2007 yang sebesar USD1,38 miliar dengan volume 19,18 barel.
Sementara untuk sisa dari total ekspor tersebut diperoleh melalui non-Pertamina atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Dari KKKS pada 2008 yang melonjak tajam menjadi USD2,75 miliar dengan volume 29,46 juta barel dari yang sebelumnya tahun 2007 hanya mencapai USD1,03 miliar dengan volume 15,58 juta barel.
Sedangkan untuk penerimaan ekspor minyak mentah tahun 2008 yang telah disetorkan ke kas negara tercatat sebesar USD3,57 miliar dan sisanya sebesar USD360,5 juta masih menjadi piutang negara. Namun laporan tersebut semuanya masih dalam keadaan unaudited.
Sebagai informasi, pada 2006 produk kilang lain yang dijual atau diekspor Pertamina hasilnya merupakan milik pemerintah dan diperhitungkan langsung sebagai faktor pengurang atau reducing factor biaya produksi BBM (pengurang subsidi BBM).
Kendati demikian, sejak 2006, perhitungan subsidi telah berubah menjadi pola PSO dan tidak memperhitungkan hasil produk kilang. Dengan demikian, hasil penjualan produk kilang bukan lagi tanggung jawab pemerintah. Namun, untung ruginya merupakan tanggung jawab pemerintah.