Entah kebetulan atau kesengajaan, forum sidang paripurna luar biasa DPR, Senin (3/8), menjadi momentum penting bagi dua politisi yang berseteru sejak lima tahun lalu itu. Itu adalah momentum penting pertama SBY dan Taufiq Kiemas pascapemilu presiden 8 Juli 2009. Tidak sekadar bersua, kedua tokoh politik tersebut juga menyempatkan cipika-cipiki.
Meski sebenarnya pertemuan tersebut merupakan hal yang biasa saja dan wajar, namun situasi ini memancing spekulasi beragam di tengah publik. Tidak bisa dipungkiri, rumors koalisi PDIP dengan Partai Demokrat merupakan isu yang panas, baik saat menjelang musim koalisi Mei lalu maupun saat penyusunan kabinet di pemerintahan SBY-Boediono. Disebut-sebut Taufiq Kiemas salah satu tokoh PDIP yang cenderung merapat ke SBY dan Partai Demokrat.
Sikap ini pun sepertinya masih dipegang oleh Taufiq Kiemas. Menurut dia, tidak tertutup peluang bagi PDIP untuk bergabung dalam pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014. "Masih ada peluang, emang nggak boleh?" cetus Ketua Deperpu PDIP Taufik Kiemas, seusai Sidang Paripurna Luar Biasa DPR, di gedung DPR Senin (3/8).
Kendati demikian, posisi politik PDIP dalam merespons pembentukan kabinet SBY-Boediono pasif alias tidak aktif. Artinya, PDIP tidak meminta-minta posisi kabinet, termasuk pula tidak akan ngambek terhadap pemerintah. "Kan kalau kita menodong, namanya makar itu. Kalau kita berhenti, juga kan makar," tambahnya.
Pernyataan Taufiq Kiemas ini di satu sisi menjadi pintu pembuka bagi pihak Partai Demokrat dan SBY untuk melakukan ruang komunikasi politik dengan kalangan PDIP. Di sisi lain, juga semakin mempertegas rumors yang belakangan beredar kencang perihal kemungkinan merapatnya PDIP dengan pemerintah.
Apalagi, pada 24 Juli lalu, pasangan SBY dalam Pilpres lalu, Boediono yang juga dikenal dekat dengan Megawati dan PDIP, melakukan pertemuan tertutup di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Pertemuan tersebut digelar sehari menjelang pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Pandangan Ibu Mega sangat berguna bagi kami untuk kepentingan Indonesia ke depan," kata Boediono menjelaskan pertemuan dirinya dengan Megawati.
Rangkaian komunikasi politik ini sepertinya memperjelas isi SMS liar yang beredar di tengah publik atas nama Ketua Deperpu Taufiq Kiemas belum ama ini, meski SMS tersebut tidak diakui berasal dari Taufiq Kiemas. Bunyi SMS tersebut adalah: "Diperintahkan kepada seluruh kader PDIP untuk sepenuhnya tunduk kepada keputusan DPP dan Deperpu. Sikap oposisi selama lima tahun ternyata tidak membuat kita dekat dengan rakyat. Oleh karenanya, diperlukan langkah nyata untuk kembali dekat dengan rakyat dengan cara membuka diri berkoalisi dengan presiden yang dipilih rakyat. Salam merdeka."
Kendati PDIP mulai membukakan tangan untuk bergabung dengan pemerintahan, namun bukan berarti tidak menimbulkan resistensi di internal koalisi SBY-Boediono yang melibatkan 24 partai politik itu. Setidaknya PKS menjadi salah satu partai yang paling gencar menolak keterlibatan PDIP maupun Golkar dalam pemerintahan SBY-Boediono.
"Kalau menurut saya Golkar, juga PDIP jangan bergabung. Jangan berselancar di atas keringat orang lain. Tidak baik dan tidak etis," ujar Presiden PKS Tifatul Sembiring di kantor DPP PKS, Senin (3/8).
Tifatul yang disebut-sebut bakal masuk dalam kabinet SBY-Boediono ini justru menyarankan agar PDIP maupun Partai Golkar berada di jalur oposisi. Langkah ini ditempuh untuk keseimbangan pemerintahan. "Kalau (SBY) mengakomodir, silakan. Tapi saya menganjurkan PDIP dan Golkar menjadi oposisi agar ada keseimbangan," tandasnya.
Meski sinyal merapatnya PDIP ke SBY kian terang, bukan berarti perkara koalisi itu semudah membalikkan telapak tangan. Karena, tidak pula bisa dipungkiri, dinamika di internal PDIP terkait koalisi juga cukup keras. Apakah berkoalisi, memilih oposisi, atau bermitra kritis? Pilihan-pilihan ini jelas berpengaruh bagi masa depan PDIP.