"Artinya (tempat sidang sesuai) keinginan seseorang atau institusi lain yang beperkara itu memilih pengadilannya, sehingga yang menggugat (jadi) tidak penting," katanya dalam Seminar 4 Tahun Komisi Yudisial (KY), di Gedung Baru KY, Jakarta Pusat, Selasa (4/8).
Menurut Todung, perlu ada agenda-agenda yang mendesak di tengah maraknya praktik mafia peradilan, yaitu mekanisme pengaduan dan pengawasan yang lebih merespon terhadap pengaduan. Pasalnya, kata dia, indeks praktik transaksi suap di pengadilan paling tinggi dibandingkan lembaga hukum lainnya.
"Jumlah rata-rata uang yang berpindah tangan per transaksi justru adalah yang terbesar, yaitu Rp 102,4 juta. Hampir 50 kali lipat dibanding rata-rata institusi (hukum) lainnya," ungkap dia, berdasarkan survei yang dilakukan TII (Transparency International Indonesia).
Lebih lanjut, dia menyatakan ada sejumlah aktor yang diduga terlibat dalam praktik mafia peradilan di Indonesia. Mereka, kata dia, adalah tersangka, terdakwa, hakim, jaksa, advokat, panitera, dan sebagainya.