cuplik.com - Jakarta – Kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Barack Hussein Obama terkesan jauh lebih lunak. Sikap ini direspon negara-negara dunia ketiga. Bahkan, sejumlah negara bekembang mulai berani melawan hegemoni AS.
Terpilihnya Obama sebagai Presiden AS menjanjikan harapan akan terciptanya tata dunia baru yang lebih nyaman dan bebas dari cengkeraman intervensi Barat. Hal ini setidaknya dijanjikan Obama melalui pidato pelantikannya pada 20 Januari lalu.
Dia bahkan menekankan pentingnya perdamaian dengan warga dunia dari berbagai macam ras dan agama, terutama kaum Muslim. Ia juga menunjukkan sikap yang terlihat humanis dengan menutup tahanan militer Guantanamo, Kuba, sehari setelah resmi menjadi presiden.
Sikap yang terkesan lebih ramah inilah yang kemudian dimanfaatkan negara-negara lain untuk mencoba lepas dari dominasi negara Barat. Bahkan, Ekuador telah menunjukkan hal yang sangat konfrontatif, ketika Rabu (18/2) mengusir diplomat AS, Marc Sullivan dari negara itu.
Sullivan menjadi diplomat AS kedua yang diusir dari Ekuador dalam bulan ini. Pada 7 Februari lalu, Presiden Rafael Correa mengusir diplomat AS, Armando Astorga, yang bertanggung jawab atas isu imigrasi, keamanan, dan bea cukai.
Ia dituding telah mengintervensi kepolisian Ekuador mengenai komandan unit antipenyelundupan karena AS mengklaim telah memberi bantuan US$ 340 ribu. Tudingan serupa pun juga dilayangkan kepada Sullivan.
Perlawanan terhadap AS juga dilakukan Kyrgystan. Negara yang sebelumnya dianggap sebagai salah satu sekutu AS ini menunjukkannya dengan cara menutup pangkalan militer AS. Padahal, itu merupakan satu-satunya pangkalan AS di Asia Tengah. Menteri Luar Negeri AS, Hillary Rodham Clinton sempat menyesali keputusan itu, karena negaranya sangat membutuhkan Manas.
Perlawanan yang lebih ‘halus’ ditunjukkan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad. Ia memang menyelamati Obama karena terpilih menjadi Presiden AS. Namun, dalam pidatonya, ia menuntut Obama meminta maaf atas kejahatan-kejahatan AS terhadap Iran dan berhenti mendukung Zionis Israel.
Negeri para Mullah ini juga menyikapi perlawanan terhadap Barat dengan cara yang cantik, namun cukup menohok. Yakni, dengan meluncurkan satelit domestik pertamanya di awal bulan ini. Satelit bernama Omid—yang dalam Bahasa Persia berati harapan ini—disebut Ahmadinejad, akan menyebarkan monoteisme, perdamaian, dan keadilan.
Hal ini dilakukan, di tengah sanksi yang diberikan Barat pada ilmuwan mereka. Padahal, PBB telah mengancam Iran dengan program nuklirnya, dengan tudingan negara tersebut berniat mengembangkan senjata nuklir.
Bahkan, pada Agustus 2008, peluncuran satelit domestik Iran telah membuahkan peringatan dari Gedung Putih. George W Bush mengancam akan mengisolasi mereka dari komunitas global. Namun Iran bergeming. Negara itu justru meluncurkan satelit bertepatan dengan perayaan 30 tahun revolusi Iran.
Yang juga tak boleh dilupakan adalah saat Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla bertemu dengan Wapres AS Joe Biden beberapa waktu yang lalu. Jika biasanya AS yang selalu menawarkan bantuan kepada negara berkembang, Kalla justru seolah ‘mengejek’ dengan menawarkan bantuan bagi AS.
Biden memang sempat terkejut, namun tetap menanyakan apa nasihat Indonesia untuk AS. Kalla menjawab, “Segera selesaikan masalah Palestina. Jika AS bisa segera selesaikan masalah Palestina semua akan selesai. Karena hampir 75% negara-negara Islam di dunia ingin Palestina selesai.”
Apakah hal-hal tadi menandakan ‘wibawa’ Amerika telah hilang di bawah Obama? Dalam perbincangan dengan INILAH.COM beberapa waktu yang lalu, pengamat politik internasional Bantarto Bandoro menyebutkan sejumlah hal.
Di antaranya, AS sedang mengalami krisis dalam negeri yang tak bisa dihindari, sehingga membuat pemerintah harus lebih berkonsentrasi melihat ke urusan domestik. “Saya kira juga, karena besar tingginya kepercayaan atas Obama tergantung bagaimana publik AS melihat dia mengatasi krisis dalam negeri. Sehingga, politik luar negeri menjadi nomor dua,” papar Bantarto.
Walaupun begitu, hal ini tidak akan membuat AS menarik diri secara total dari perannya sebagai Negara Adidaya. “Saya melihat, tidak seperti yang diasumsikan akan menarik diri total dari panggung internasional. Karena hubungan luar negeri penting untuk menarik citra buruk AS di era Bush,” jelasnya.
Melunaknya AS di bawah Obama pun, lanjut Bantarto, kemungkinan akan berimplikasi pada munculnya kekuatan penyeimbang dari negara lain, seperti terjadi di era Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet. Hal ini kemungkinan bisa mendorong Rusia bisa tampil kembali.
“Seakan-akan harapannya dunia melihat Rusia bekiprah sebagai negara super power,” kata staf pengajar Pascasarjana UI.
Pendapat itu memang sedikit terbukti, terlihat dengan sikap Rusia yang akan memberikan bantuan sebesar US$ 150 juta kepada Kyrgystan, sebagai kompensasi penolakannya terhadap pangkalan militer di Manas.