Rabu, 2 April 2025

Mencoba Kuliner Swahili

Mencoba Kuliner Swahili

GAYA HIDUP
6 September 2009, 10:56 WIB
Cuplik.Com - Swahili adalah budaya Afro-Islam yang dijumpai di pesisir timur Afrika, mulai dari Pulau Lamu di timur laut Kenya sampai dengan kepulauan Zanzibar di Tanzania. Mungkin banyak di antara kita yang pernah mendengar bahasa Swahili sebagai salah satu bahasa yang paling dikenal di antara ratusan bahasa Afrika. Memang pengguna Kiswahili mudah ditemui mulai dari beberapa wilayah di Afrika, semacam di Rwanda, bagian timur Republik Demokratik Kongo (Kongo Kinshasa), Uganda, Kenya dan tentu saja Tanzania (Tangayika dan Zanzibar). Seperti halnya bahasa Indonesia, Kiswahili sangat dipengaruhi oleh kosa kata arab. Tidaklah heran bila ada kemiripan beberapa kosa kata dengan bahasa Indonesia.


Dalam perjalan terakhir Juli-Agustus tahun ini, saya sempat beruntung bisa mengunjungi Pulau Unguja, atau lebih banyak dikenal dengan nama Zanzíbar. Sebenarnya Zanzíbar adalah gugusan kepulauan yang terdiri dari pulau Unguja, Pemba, dan pulau-pulau kecil lainnya. Boleh dibilang, Zanzibar adalah salah satu pusat budaya Swahili. Pulau ini dikenal oleh karena kekayaan rempah-rempahnya seperti lada, ketumbar, cengkih, jahe, kapulaga, dan jahe. Yah, semacam Maluku-nya Afrika-lah.

Selain itu, Zanzibar pernah juga menjadi pusat perdagangan budak, terutama oleh kaum Arab. Mereka menjual budak-budak dari benua Afrika ke negara-negara Arab. Pulau ini juga menjadi ajang perebutan beberapa negara eropa, termasuk Ingrris, Jerman dan Perancis. Sebelum tahun 1964, Zanzibar adalah bagian dari Kesultanan Oman. Setelah terpisah dari Oman, Zanzibar menyatukan diri dengan Tangayika untuk membentuk Republik Serikat Tanzania, yang pada waktu itu juga baru membebaskan dari dari penjajahan Inggris.

Pulau Zanzibar memiliki karakteristik sangat kosmopolitan, dengan percampuran kebudayaan Islam Arab, Afrika, sub-benua India, Inggris, dan masih banyak budaya lain yang masuk, termasuk dari Indonesia, dan akhir-akhir ini Cina. Kekayaan ini sangat terlihat dari karakteristik fisik para Zanzibari. Tidaklah mengherankan bila di salah satu sudut kota Zanzibar, kita bisa menemui sekelompok anak kecil yang bermain, dengan karakteristik mulai Afrika, Arab, India, bahkan Asia Timur. Bahkan, kalau kita mengunjungi Nungwi, desa nelayan di bagian utara, banyak sekali orang yang mengenakan sarung, layaknya orang Indonesia. Memang dari keterangan yang saya baca dari museum nasional di Stonetown, budaya sarung ini diambil dari budahya Indonesia. Sungguh menarik.

Cerminan percampuran budaya ini juga nampak dalam budaya makanan mereka. Makanan pokok mereka adalah berbagai jenis pisang tanduk, umbi-umbian termasuk ubi jalar, singkong, talas, dan juga beras, jagung, sorghum dan gandum. Cara memasaknya pun juga bervariasi, mulai dari nasi putih, chapati alla India, jagung dimasak menjadi Ugali ala Kenya dan Tangayika, sampai dengan roti-rotian ala Eropa. Dagingpun juga banyak dijumpai sebagai kawan makanan pokok, terutama daging lembu, domba dan ayam.

Sebagai negeri Bahari, ikan dan berbagai jenis makanan laut sangat mudah ditemui. Seringkali daging dan ikan dimasak dengan kuah bersantan, juga sayur-sayuran karena kelapa dengan sangat mudah didapatkan hampir di semua sudut pulau. Ada puluhan jenis ikan segar yang jual sepanjang hari di dermaga dan di pasar Darjani di pusat kota Zanzibar town. Jangan kaget bila menjumpai orang berjalan dengan menenteng dua ekor gurita besar. Selain itu ada juga kepiting yang capitnya sebesar kepalan tangan sampai dengan udang galah yang sebesar lengan anak kecil.

Saya ingin membagikan pengalamn saya pada beberapa jenis makanan yang mungkin tidak banyak dijumpai di hotel-hotel, namun sangat digemari oleh masyarakat lokal. Karena kebiasaan saya untuk berjalan-jalan sendiri setiap kali saya berpelancong, saya banyak mendapatkan kesempatan untuk ngobrol dengan masyarakat yang tidak secara langsung bersentuhan dengan industri pariwisata.

Makanan yang pertama adalah Bajia, yang saya jumpai di samping Katedral Santo Yosef. Penjualnya adalah seorang ibu paruh baya berkerudung yang duduk bersimpuh di belakang pintu kayu, dengan wajan kecil diatas tungku arang. Sebenarnya ibu yang sedang menggoreng bulatan-bulatan coklat ini cukup terkejut melihat saya datang. Dengan bahasa Inggrisnya yang cukup lancar, beliau menyilakan saya masuk dan duduk.

Kebetulan ada Sole (dari nama panjang soleman) seorang pemuda asli Zanzibar berumur 19 tahun dan mahasiswa tahun pertama di Universitas Negeri Zanzibar yang cukup ramah untuk menjelaskan makanan ini. Bajia terdiri dari bulatan-bulatan kecil sebesar bakso dalam kuah sangat kental, ditambah dengan irisan kentang merah dan irisan-irisan kecil singkok garing sebasar korek api. Bulatan bulatan tersebut adalah kentang yang dibumbui dan digoreng.

Rasanya mirip dengan perkedel, sementara kuah kentalnya saya kira adalah semacam bubur kentang, dengan rasa asam dari asam Jawa. Secara keseluruhan rasanya sangat kaya, dengan kesedapan perkedel, kepekatan bubur kentang, kecut asam jawa plus kerenyahan potongan singkok garing. Sole mengatakan bahwa makanan ini adalah pengaruh India. Namun saya belum tahu apa padanannya dalam masakan India. Saya tidak tahu harga sebenarnya, namun saya membayar 500 Shilling yang setara dengan 4000 rupiah.

Makanan yang lain adalah Kisamvu. Seorang guru SD bernama Aika yang secara kebetulan saya temui, dengan sabar menjelaskan proses pembuatannya. Kisamvu berbahan dasar daun singkong. Daun singkok mentah ditumbuk sampai halus (seperti salah satu cara orang Batak memasak daun singkong), kemudian direbus dengan api sedang selama dua atau tiga jam, sampai airnya habis.

Setelah lembut, daun singkong ini ditambahi dengan irisan dua atau tiga bawang bombay merah, garam, merica dan santan encer. Biarkan santan encer ini merasuk, sampai semua air teresap dalam tumbukan daun tersebut. Setelah air habis, baru kemudian masukkan santan kental, dan diaduk dengan pelan-pelan. Kisamvu biasaya dimakan dengan nasi. Walaupun tidak sama, namun ada kemiripan dengan gulai daun singkong.

Rumah makan Passing Show diseberang Cine Afrique di Stone Town dan tidak jauh dari dermaga barang adalah tempat dimana kita bisa menjumpai masakan Swahili. Di sana saya sempat mencicipi gulai daun bayam, saya benar-benar sedap. 

Di malam hari, ada tempat makan yang ramai dikunjungi baik penduduk setempat maupun pelancong manca negara. Tempat ini terletak di samping Beit-el-Ajaib (Rumah Ajaib – yang dulunya adalah bangunan terbesar di puluai ini dengan empat lantai. Sekarang menjadi museum nasional). Deretan meja menjual berbagai jenis sate, termasuk sate udang, ikan, lembu, domba, sampai dengan ayam, kepiting, cumi-cumi, udang galah.

Sebagai pendamping, ada pisang tanduk rebus, chapati, kentang rebus, sukun, singkok dan kentang goreng, dan falafel zanzibari. Setelah kita memesan apa yang kita mau, sang penjual akan menghangatkannya diatas tungku arang, macam cara kita membakar sate. Karena saya vegetarian, saya memesan sukun, kentang berbumbu, dan falafel, yang kemudian dihidangkan dalam piring kertas, dan ditambah dengan irisan timun, tomat dan kobis diiris tipis-tipis. Terus terang saya sangat kecewa dengan falafelnya, karena tidak ada rasanya sama sekali. Sangat hambar, meski sudah saya tambahi garam dan saus cabai.

Hari berikutnya, saya lebih memilih Mtabak, yang pada dasarnya adalah martabak. Mereka menjelaskannya sabagai Pizza Zanzibar, agar orang lebih mudah mengenali. Ukurannya jauh lebih kecil dari martabak kita. Ada beberapa pilihan: daging, pisang, coklat atau hanya sayuran. Saya memilih sayuran. Adonan tipis martabak ditambahi dengan irisan bawang bombay, kobis, cabai, secuil keju la vache qui rire, sepucuk sendok makan mayonesse dan sebutir telur ayam. Harganya 1000 Shilling. Mtabak disajikan dengan salad campuran kobis, timun, tomat dan sawi hijau cincang. Rasanya cukup sedap, lebih sedap dari falafel zanzibari.

Di pasar, berbagai macam buah tropis bisa didapatkan, terutama jeruk, pisang, mangga dan pepaya. Namun, ada juga rambutan dan durian. Saya membeli satu ikat rambutan (shoki-shoki), ditepi jalan seharga 2000 Shilling. Ternyata rambutannya agak asam, dan saya tidak bisa mengahbiskannya. Untuk durian (doriani), harganya sedikit mahal. Kali pertama saya membeli dengan harga 3000 Shilling dan hari kedua saya membayar 4000 Shilling, namun durian tersebut sedikit lebih besar. Toh namanya juga durian, rasanyapun juga rasa durian. Dagingya tipis, dan bijinya besar, manis dan ada sedikit rasa pahit dibelakang. Baunya tidak sekuat durian Monthong atau durian kita.

Di akhir kunjungan saya, saya sangat tersentuh, karena Musa al-Haji, seorang pemuda berumur dua puluh tahun, mengundang saya pergi ke desanya. Dengan segala kesederhanaan, mereka menyapa saya dengan ramah. Puluhan anak kecil mengerumini saya. Mereka agak sulit menyapa saya, karena saya bukan Mzungu (bahasa Swahili unutk Bule), namun saya berbahasa Inggris. Saya pun sempat mengunjungi seorang Bibi dari keluarga Musa, yang suaminya baru saja meninggal seminggu sebelumnya. Dengan lima anak yang masih kecil, dan seorang nenek berumur 90 tahun, sang Bibi ini menjadi tulang punggung keluarga.

Rumahnya sangat sederhana, terbuat dari tembok lumpur kering, dan beralas tanah, dan jendela tak bertutup. Namun demikian dengan segala kesederhanaannya dan kesulitan berkomunikasi, Sang Bibi ini menyuguhi saya sepiring makan siang berupa sepiring kacang gudhe yang dimasak dengan bumbu bersantan. Setelah itu, bersama dengan beberapa anak yang mengerumuni saya, kami mengupas satu tampah penuh kacang gudhe, dan beliau memberikannya kepada saya untuk saya bawa pulang. Saya sungguh terharu. Bulan September saya akan ke Rwanda dan Burundi, saya akan membagikan lagi cerita dari sana.

Sumber : Kompas Community


Penulis :
Editor :

Tag :

CURHAT RAKYAT

Rilis Lagu Terbaru, Miss Merry Riana Ungkap Fakta

Fakta mengejutkan terungkap dari Miss Merry Riana. Siapa sangka Entrepreneur, Investor dan Content Creator ini menyanyikan sebuah lagu rohani? Berawal di akhir bulan Januari 2023, pada saat itu Produser Impact Music Indonesia, Alberd Tanoni meminta Ms

Kemenparekraf Gandeng Merry Riana Group Tingkatkan

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) kembali menjalin kerja sama dengan Merry Riana Group dalam upaya meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) ekonomi kreatif. Kolaborasi ini bermula dari kunjungan Menteri Pariwisata dan E

Ikan gurame terbesar sedunia di Bandung

Ikan gurame ini saya pelihara dari seukuran silet hingga besar seperti ini dalam waktu 5 tahun. Ikan gurame ini jenis bastar & berkelamin betina.

TERBARU LAINNYA

IKLAN BARIS

Bakso Goyang Lidah depan Gardu Induk Singajaya, menggoda selera. Kualitas Daging Sapi terjamin.
Ruqyah Islami wilayah Indramayu dan sekitarnya, Hub Ustadz ARI wa 0877-2411-1128
Hadir FRENDOT jasa pembuatan stiker, kalender, plakat, cetak ID card dan banyak lainnya lokasi depan RS MM Indramayu
layanan terapi hati ,kesembuhan luka batin,fobia,anxiety ,cemas, hidup sial,tak bahagia ,rezeki seret,psikomatik dan semua yang urusan pikiran ,bisa konsultasi wa 0813 5227 9928 /bang rudy insyaalllah
Jasa Foto / Video Wedding dan Prewedding, Live Streaming Indramayu dan sekitarnya, Harga Terjangkau Kualitas Cemerlang. Cuplik Production WA 081312829503