Namanya mbah Wito berasal dari desa Manis Renggo. Sehari hari dia berjualan nasi pecel di seputaran candi Prambanan. Bermodalkan tikar dan ’rinjing’ mbah Wito pun menggelar dagangannya di atas tikarnya. Penikmat dagangannya pun harus rela ’nglempoh’ alias duduk diatas tikar untuk menikmati hidangannya.
Ketika aku berkunjung ke candi Prambanan, aku sempat mencicipi dagangan mbah Wito, yaitu nasi pecel. Bukan nasi pecel biasa tapi nasi pecel bersuasana plus nostalgia. Aku sebut bersuasana karena memang suasana alam begitu mempesona, semilir angin dan juga berlatar belakang candi Prambanan.
Disebut bernostalgia karena mbah Wito bercerita tentang masa lalunya yang sempat tinggal dan mencari nafkah di Jakarta, tepatnya di seputaran Benhil. Selama hidup di Jakarta, mbah Wito berjualan sayur keliling. Tak disebutkan pakai gerobak atau pakai ‘rinjing’, yang jelas penjaja sayuran.
Dan suatu ketika datanglah 2 orang pemuda menikmati nasi pecel dagangannya. Tak di sangka pengunjungnya kali ini adalah anak dari pelanggannya dahulu sewaktu mbah Wito menjadi penjaja sayuran di Jakarta. Sambil bercerita raut mukanya kelihatan senang sekali mengenang pertemuan itu. Apalagi setelah selesai menikmati makanannya pemuda tersebut meninggalkan uang jajan buatnya.