Pemandangan elok itu benar-benar tergambar saat kapal pesiar yang kami tumpangi merapat di ponton yang dibangun tak jauh dari Nusa Lembongan. Meski hujan mengiringi saat berangkat dari Pelabuhan Benoa, akhirnya kami bernapas lega saat cuaca cerah menyambut sesampai di pulau kecil di sisi tenggara Bali, atau dua km barat laut Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.
Untuk mencapai pulau seluas 4,6 km persegi ini memang hanya bisa dijangkau melalui laut. Dari Pelabuhan Benoa menuju kawasan wisata yang kini menjadi andalan Bali itu, ada dua kapal pesiar yang siap mengantar, Bounty Cruises dan Bali Hai Cruises.
Paket wisata sehari mulai pukul 09.00 - 15.00 Wita, ditawarkan Bounty Cruises 85 dolar AS (sekitar Rp 800.000) per orang dan 40 dolar AS (Rp 450.000) per orang untuk rombongan. Terbilang mahal. Tetapi, kesan itu mungkin sirna dengan kemasan wisata yang diperoleh selama di Nusa Lembongan.
Di kapal dua lantai yang mampu membawa 400 penumpang itu, layanan sekelas hotel bintang lima bisa didapatkan. Mulai jamuan makan siang hingga beragam aktivitas bisa dilakukan di pulau ini, seperti snorkeling, kano, semi submarine, banana boat, wisata darat, bahkan diving. Untuk ini, wisatawan harus merogoh kocek lagi 50 dolar AS (Rp 45.000).
“Kebanyakan yang datang ke pulau ini wisatawan yang tengah honey moon, seperti saat ini. Mereka sebagian besar berasal dari Korea, Taiwan dan Jepang,” tutur Nyoman Muliade, staf Bounty Cruises, kepada Surya.
Agar tak terjadi penumpukan di salah satu permainan air, wisatawan diatur secara kelompok. Untuk semi submarine, snorkeling, dan diving, tersedia kapal kecil yang mengangkut sekitar 20 wisatawan menuju lokasi. “Semua aktivitas permainan air di mulai dari ponton ini. Yang ingin mencoba kano dan banana boat, bisa langsung bermain di sekitar kapal,” tawar Muliade.
Seperti semi submarine, kami terlebih dulu diangkut dengan kapal kecil menuju kapal yang telah menunggu di tengah laut. Kapal ini di bagian dasarnya telah diubah menjadi jendela kaca, sehingga kehidupan bawah laut bisa dinikmati saat kapal bergerak ke tengah laut. Ratusan ikan warna-warni, gundukan batu karang putih, hingga rumput laut, terlihat memesona di kedalaman laut yang jernih.
Puas melihat flora dan fauna laut, kami kembali ke ponton melakukan aktivitas lainnya. “Wuih asyik ya… bisa ngasih makan ikan. Duh, aku pengen lagi,” teriak teman dari Bandung, usai bersnorkeling. Rombongan snorkeling memang dibekali makanan ikan, untuk memikat penghuni laut mendekat. Beberapa rekan lain terlihat basah kuyup setelah mencoba banana boat. Papan berbentuk pisang yang ditarik speed boat ini membawa empat hingga lima penumpang berseluncur di laut lepas.
Relaksasi
Lelah bermain air, wisata darat menjadi alternatif menghabiskan waktu di Nusa Lembongan. Butiran pasir lembut, air laut jernih, semilir angin langsung menyambut kami begitu kapal merapat di daratan. Memang tak banyak yang ditawarkan di pulau yang dihuni sekitar 4.000 jiwa, selain berkeliling mengamati kehidupan penduduk setempat, menyusuri Gua Gala, atau membeli hasil kerajinan sebagai buah tangan.
Seharian beraktivitas di air dan darat, layanan relaksasi telah menunggu di ponton. “Kami menyediakan massage, dijamin tubuh tetap segar begitu kembali dari wisata ini,” jamin Muliade. Sayangnya, layanan ini masih dikenakan tarif tambahan 20 dolar AS (Rp 180.000). Bagi penyuka wisata air, sehari di Nusa Lembongan, bisa menjadi pilihan mengisi liburan. Tri dayaning reviati
Gua Gala, Rumah Tinggal dalam Liang
MENGUNJUNGI Nusa Lembongan belum lengkap bila tak menyusuri Gua Gala, atau rumah tinggal dalam liang batu kapur. Gua ini bukan peninggalan masa prasejarah, karena dibangun tahun 1961 hingga 1976. Uniknya, pembuatannya dilakukan dalang Made Byasa, seorang diri. “tepatnya, gua ini digali ayah saya menggunakan linggis,” tutur Nyoman Usana, 43, anak ketujuh dari delapan bersaudara keturunan Made Byasa.
Rumah bawah tanah berdinding batu kapur ini memiliki tujuh akses untuk masuk. Layaknya rumah pada umumnya, di dalamnya ada ruang tamu, kamar tidur, dapur, bahkan kamar mandi. Begitu memasuki ‘rumah’ seluas 500 meter persegi ini, meski jalan menuju ruang satu ke ruang lain terasa sempit namun udara di dalam terasa adem.
Hanya saja untuk memasukinya mesti ekstra hati-hati, karena jalan masuknya sempit dan menurun sedalam dua meter. Selain itu, ketinggian di dalam gua hanya sekitar satu meter. “Untuk berkeliling, pengunjung harus membungkuk. Hanya di beberapa ruang saja yang dapat berdiri tegak. Demi kenyamanan, sudah dipasangi lampu,” terangnya.
Pendiriannya, menurut Usana, terinspirasi cerita pewayangan Mahabarata. “Ayah tertarik dengan kehidupan Pandawa saat diisolasi dan membuat tempat perlindungan,” jelas Usana. Keinginan Made Byasa tentu sulit diterima keluarganya. Ia tak patah arang. Seorang diri, ia mengerjakannya di malam hari. “Memang tidak masuk akal, karena yang digali batu kapur. Sehingga ada desas-desus Made Byasa dibantu makhluk lain,” kata Mulyade, juru kunci Gua Gala.