Secara harafiah, dim sum berarti ‘secuil hati’. Makanan ini biasa dinikmati pada pagi hari untuk mendampingi teh China. Dim sum biasa dihidangkan pada pagi hingga siang hari.
Bagi warga keturunan China di seluruh dunia, makan dim sum bukanlah sekadar sarapan. Tetapi telah menjadi perayaan tradisi yang sudah berlangsung berabad-abad.
Tradisi makan dim sum biasa disebut yum cha atau minum teh. Nama ini ada sejarahnya. Pada zaman dulu, para pedagang biasa beristirahat di kedai-kedai teh. Saat itu hanya teh yang disajikan karena orang menganggap makan kue bersama teh hanya akan membuat gemuk.
Di kemudian hari baru diketahui bahwa teh baik untuk pencernaan dan bisa meluruhkan lemak. Maka mulailah kedai-kedai teh menyajikan makanan kecil. Tradisi itu berlanjut hingga kini. Orang minum teh dengan dim sum sebagai makanan pendamping pada pagi hari. Orang-orang datang ke kedai untuk membaca koran atau ngobrol dengan teman-teman sambil menikmati teh plus dim sum.
Pada Minggu pagi, para orangtua mengajak anak-anak mereka untuk bertemu dengan kakek dan nenek mereka. Penyajian dim sum sangat khas. Ditempatkan di sebuah keranjang bambu, yang sekaligus wadah untuk mengukus. Satu porsi biasanya berisi empat buah dim sum.
Bahan membuat dim sum tidak sulit didapat. Membuatnya pun tidak sulit meskipun memerlukan ketelatenan khususnya saat membungkus isi. “Kulitnya dibuat dari tepung tamien dan kanji. Ini tersedia di toko-toko bahan kue,” jelas Wong Ming, chef dim sum Shang Palace, Hotel Shangri-La Surabaya.
Soal isi, itu terserah selera dan kreativitas. Ming sendiri memanfaatkan berbagai bahan makanan untuk isi dim sum buatannya. “Bahan isi yang paling populer memang udang. Namun kita bisa menambahkan sayur,” ujar pria yang sudah enam tahun tinggal di Indonesia itu.
Ming kemudian menunjukkan dua jenis dim sum hasil kreativitas terbarunya. Yakni Cheong Fen with Shrimp and Spinach (dim sum dengan udang dan bayam) serta Jamur Udang dengan Saus Putih Telur.