Pupus sudah harapan calon presiden (capres) independen. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengunci kesempatan capres independen untuk berkiprah dalam kancah pemilihan presiden Juli 2009 mendatang. Dalam putusan yang dibacakan 17 Februari lalu, MK menyatakan permohonan yang diajukan Fadjroel Rahman inkonstitusional. Pertimbangan majelis hakim konstitusi merujuk Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal itu menentukan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik.
Kalau sudah begini, apakah capres independen perlu mengamandemen UUD? Menurut Hakim Konstitusi, Akil Mokhtar, upaya yang bisa dilakukan untuk ‘mendobrak' UUD 1945 dengan merevisi UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Yakni, dengan merubah pasal tentang calon perseorangan. "Mengubah UUD sulit, kalau (perubahan, red) di tingkat UU lebih mudah," ujar Akil.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Sarwono Kusumaatmadja, mengatakan amandemen UUD dapat dilakukan jika ada krisis besar yang melanda negeri ini. "Semua lapisan masyarakat berkepentingan menciptakan momentum perubahan. Kalau datar-datar saja susah, seribu orang seperti Fadjroel Rahman masuk ke MK tidak akan cukup," pungkasnya.
Akil Mochtar menyatakan putusan MK dalam perkara capres independen itu legal policy (pilihan kebijakan). Jika merujuk pada aturan, mayoritas hakim konstitusi menolak permohonan pemohon. Ia menambahkan, putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum. "Di MK putusannya menjadi satu kesatuan yang mengikat, karena ini berdasarkan komperatif MK-MK di dunia," katanya.
Mantan Anggota DPR itu menjelaskan pemilihan presiden menganut paham individual. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah yang menganut paham demokrasi. Hal itu ditengarai pasal konstitusi yang di uji berbeda. Dalam kasus kepala daerah, pasal yang diuji adalah Pasal 18 UUD 1945, sedangkan pemilihan presiden pasal 6A UUD 1945.
Sebelumnya, Fadjroel Rahman mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU No. 42/2008. "Ini soal tafsir, pengujiannya berbeda. Pasal 6A bukan norma konstitusi, itu norma Undang-Undang, kami posisi dissenting opinion agak lebih maju," ujarnya.
Menanggapi hal itu, Fadjroel berpendapat, putusan MK soal capres independen bertentangan dengan putusan MK terhadap pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam putusan capres, MK menolak judicial review capres lantaran Indonesia menganut paham kolektivistik. Sementara saat memutus sengketa Pilkada, MK menyatakan Indonesia menganut paham demokratis, walaupun individualistik kepala daerah ditonjolkan. "Ini lucu," kata Fadjroel.
Harus ada Terobosan
Guru Besar Fakultas Hukum UI, Satya Arinanto mengatakan, dalam mengambil putusan suatu perkara MK seharusnya melakukan terobosan. Putusan MK seharusnya memunculkan sebuah gerakan dan mendorong ke arah perubahan. "Sekarang hanya perdebatan tekstual saja," katanya.
Satya mencontohkan di Jerman. MK Jerman dapat melakukan pilihan hukum. Hal itu dapat dilakukan jika ada pertentangan pemilihan pasal dalam konstitusi. "Ini sekedar contoh saja, kalau hakim MK mau gunakan ini ya tidak apa-apa," ujarnya.
Tidak Kalah
Fadjroel menyatakan dengan putusan MK bukan berarti capres independen kalah. Menurutnya, putusan MK kemarin merupakan kemenangan gagasan dan wacana tentang capres independen. "Kami menang secara ide," katanya.
Buktinya, suara delapan hakim konstitusi terbelah saat mengambil putusan capres indepen. Lima hakim menyatakan capres independen yang mau bertarung pada pemilihan presiden harus mengamandemen UUD. Sisanya, tiga hakim menyatakan tidak perlu mengamandemen UUD. "Praktis (artinya, red) delapan orang ini setuju, menurut saya kami menang secara ide, capres independen sudah masuk," ujarnya.
Sarwono Kusumaatmadja mengatakan keberadaan capres independen justru menyelamatkan partai-partai. Karena mengurangi orang untuk membentuk partai baru. "Partai jangan melihat calon presiden independen sebagai ancaman," katanya.