Haryono usai bertemu sejumlah direksi BUMN di Gedung KPK, Kamis (19/2), menyatakan terdapat perbedaan persepsi mengenai utang pada masing-masing priode pemerintahan Presiden RI. "Waktu Orde Baru, utang (pinjaman luar negeri) dianggap sebagai pendapatan," ujarnya.
Namun sesudah Orde Baru, utang dianggap sebagai uutang, bahkan sejak komitmen disetujui. "Commitment fee langsung jalan dan komitmen pun dianggap utang," papar Haryono.
Dia juga menguraikan terdapat empat cara untuk melalukan penarikan pinjaman luar negeri. Yaitu melalui Letter of Credit (L/C), rekening khusus, reimburse (membayar kembali). "Yang terakhir saya lupa namanya, tapi mirip dengan reimburse," dalih Haryono.
Menurut Haryono, cara penarikan dengan L/C merupakan cara yang paling mudah. Terutama L/C yang diterbitkan Bank Indonesia (BI). Untuk rekening khusus, Haryono mengungkapkan apabila ada sisa saldo dalam rekening maka harus dikembalikan ke lender (pemberi pinjaman).
Sehari sebelumnya, Haryono telah mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan nilai saldo utang pinjaman luar negeri. Data dari Departemen Keuangan (Depkeu) menyatakan nilai saldo utang sebanyak Rp450 triliun. Data dari BI malah lebih sedikit sekitar Rp7 triliun. Data yang dimiliki lender malah lebih besar dari keduanya.
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan KPK pada periode 1967-2005, ditemukan hanya 44 persen dari total nilai saldo utang pinjaman luar negeri yang dimanfaatkan. BPK menindaklanjutinya dengan memeriksa sembilan BUMN dan sembilan Departemen. Dari 2.214 perjanjian utang (Loan Agreement), 66 diantaranya diaudit BPK.