Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, mengungkapkan, akibat krisis, kemampuan masyarakat untuk membeli baja dan besi turun drastis. Sehingga, PHK terhadap 18 ribu karyawan di industri besi dan baja akibat krisis dan bukan faktor dumping.
Krisis yang melanda hampir semua negara, lanjut Sofjan, mendorong harga besi dan baja merosot tajam seiring penurunan pembangunan proyek konstruksi. “Jadi semua itu saya pikir, tidak lepas dari ekonomi dunia bukan dumping,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (20/2).
Pemerintah sebenarnya telah menahan serbuan produk baja impor dengan memberlakukan bea masuk cukup tinggi. Misalnya impor hot rolled coils alias baja canai panas (HRC) dari India dengan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) antara 12,95-56,51%, serta impor dari Rusia dikenakan 5,58-49,47%.
Sementara untuk impor HRC dari Taiwan 0–37,02%, dan impor dari Thailand 7,52-27,44%. Menurutnya, sebelum BMAD diterapkan pun, pelaku industri baja seperti PT Krakatau Steel diproteksi sedemikian rupa sehingga mendekati monopoli.
Sofjan mengingatkan, soal PHK dan tutupnya pabrik paku, harus dilihat apakah benar-benar akibat krisis sehingga cost of production tinggi atau benar-benar faktor dumping. “Kita harus lebih jeli melihatnya,” ujarnya.
Pasalnya, jika ternyata negara luar tidak melakukan dumping melainkan akibat penurunan harga yang terimbas resesi ekonomi, tentu akan menjadi bumerang bagi ekonomi domestik.
Sofjan menegaskan penurunan harga-harga merupakah hal lumrah yang terjadi di semua negara. Akibatnya, barang-barang dilempar ke mana saja dengan harga yang murah termasuk ke Indonesia. “Itu bisa terjadi di mana-mana,” tukasnya.
Indonesia pun menurutnya, jika akan menjual barangnya ke luar negeri pasti dijual dengan harga yang lebih murah. Hal itu, menurut Sofjan bukan berarti Indonesia melakukan dumping.
Begitu juga dengan PHK di industri besi, akibat penciutan permintaan terhadap besi. Alhasil, berpengaruh pada murahnya harga akibat tidak seimbangnya suplai dengan demand. Jika ternyata mereka benar-benar melakukan dumping, mudah saja bagi Indonesia melakukan anti-dumping announcement. “Itu bisa saja kita lakukan,” katanya.
Sofjan mewanti-wanti, jangan sampai terjadi anti-dumping dengan alasan yang tidak tepat. Pasalnya, negara luar pun bisa membalas dengan perlakuan serupa. “Mereka juga bisa dumping barang-barang kita yang lain di negaranya. Kita larang mereka masuk, mereka juga larang barang-barang kita masuk ke sana,” paparnya.
Sofjan mencontohkan susu China yang dilarang masuk ke Indonesia. Akhirnya China pun melarang ikan-ikan Indonesia masuk ke negaranya. Untuk itu, Indonesia tidak boleh bertindak gegabah. Pemerintah harus betul-betul memperhatikan apakah dumping atau bukan. “Jangan asal proteksi tapi tidak jelas semua alasannya,” imbuhnya.
Bisa jadi, lanjut Sofjan, apa yang terjadi akibat tidak kompetitifnya barang-barang dalam negeri seiring terjadinya inefisiensi industri dalam negeri. Juga bisa jadi akibat melemahnya daya beli sehingga tidak ada yang bisa dijual oleh pihak industri. “Karena memang semua ekonomi menciut termasuk industri besi dan baja,” imbuhnya.
Untuk membangkitkan kembali industri baja, Sofjan menyarankan pemerintah menggenjot stimulus fiskal terutama sektor infrastruktur seperti jalan, perumahan, dan produksi mobil.
Jika stimulus sektor ini berjalan dengan baik, dengan sendirinya industri baja akan bangkit. Pasalnya, semua infrastruktur sangat berkaitan erat dengan besi dan baja. “Itu aja yang paling tepat,” pungkasnya.
Pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan di sektor industri besi dan baja sudah mencapai 18 ribu orang. Saat ini ada sekitar 300 industri di sektor besi dan baja dengan 200 ribu tenaga kerja. Banyak pabrik mengurangi produksi, bahkan 14 pabrik paku sudah tutup disinyalir akibat serbuan barang impor yang lebih murah (dumping).