Cuplik.Com - Kreativitas selalu dituntut dari seorang seniman ketika menampilkan karyanya. Walaupun sering ditampilkan, Matinya Si Tukang Kritikselalu menyihir dengan evolusi baru yang inovatif.
Setidaknya itulah yang terasa dalam Monolog 100 Menit, Butet Kartaredjasa bertajuk Matinya Si Tukang Kritik, di Taman Ismail Marzuki (TIM), beberapa waktu lalu.Si tukang kritik yang telah pentas di beberapa kota tersebut,hadir dengan kritik sosial yang aktual. Itu membuat pentas monolog itu terasa tidak monoton.
Monolog yang dimainkan apik itu diawali dengan bunyi detik-detik jam dan seorang laki-laki duduk berselimut di atas sebuah kursi goyang dan memeluk guling. Jam terus berdetak, seakan menggambarkan kesunyian hidup si lelaki yang merupakan si tukang kritik tersebut. Perlahan suasana yang semula senyap, berubah dengan layar di panggung yang menyala.
Terlihatlah gambaran orang berjalan dalam lingkaran putih dengan latar belakang suara Bapak Proklamator negeri ini, Soekarno yang membacakan naskah proklamasi. Si lelaki yang tengah tidur mulai gelisah dan terbangun sambil menguap. “Ini jam berapa? tahun berapa?,” tanyanya sambil memanggilmanggil Bambang si pembantunya yang tidak kelihatan batang hidungnya.“
Baru jadi pembantu saja sudah susah dipanggil, belum lagi jika nanti jadi presiden,” kata si tukang kritik disambut histeria tawa dari bangku penonton. Laki-laki itu, terus saja bercerita tentang pembantunya yang belum dilihatnya dari bangun tidur tadi, sambil mencari-cari sepucuk surat yang dialamatkan padanya. Surat itu sangat penting karena surat itu merupakan bukti pengangkatan si tukang kritik menjadi seorang pahlawan nasional.
Laki-laki tukang kritik yang tampil sederhana saja, dengan sebuah jas lusuh dengan sebuah topi itu mulai panik, karena baru menyadari kalau saat itu adalah tanggal 17 Agustus. Dalam kepanikannya, si tukang kritik memanggilmanggil Bambang si pembantunya dan terus mencari surat pengangkatannya menjadi pahlawan. Di layar muncul foto-foto hitam putih yang menggambarkan istana merdeka.“
Siapa bilang sekarang kita sudah merdeka, kita masih tinggal di zaman prasejarah, ”katanya. Dalam kritiknya tentang keadaan negeri yang morat-marit, si tukang kritik sering merasa salah waktu, bahkan sering pula merasa salah tempat. “Kadang ketika berada di kantor polisi saya merasa, seperti berada di kebun binatang,” ungkap laki-laki lusuh itu. Layar di panggung kembali menyala, muncullah angka yang menggambarkan tahun 1998.
Di tahun itu tergambarlah sebuah keadaan negara yang didominasi oleh orang-orang berpakaian putih, ternyata itu pasukan jihad. “Menjadi presiden di Indonesia adalah kutukan. Sama sekali tidak menarik, lha wong anak buahnya bertengkar dia malah diam saja,” kata si tukang kritik mengkritisi perselisihan antara Polisi,Jaksa dan KPK. Kritik tajam si tukang kritik tentang profesi sebagai seorang presiden semakin menjadi-jadi.
Bahkan menurutnya presiden di negeri ini hanya sibuk mencari utangan di mana-mana, meningkatkan angka kemiskinan dan meningkatkan angka pengangguran. Bukan hanya kekisruhan di sebuah negara bernama Indonesia saja yang dikritik. Namun, kekacauan negara dalam dunia pewayangan Astinapura juga tidak terlepas dari kritik tajamnya. Diceritakannya ketika Astina mengalami kegaduhan,ketika Pandawa kalah bermain dadu dan Drupadi dijadikan taruhan.
“Semar waktu itu tergopoh-gopoh mendatangi saya, minta saya untuk menjadi raja, tapi saya menolaknya,” katanya. Seiring dengan hadirnya cerita tentang Semar,di panggung muncul gambaran Semar yang terbang dengan lingkaran bayangan putih di atas kepala.“Saya konsisten menjadi tukang kritik bermartabat.
Sejak zaman dulu, bahkan ketika saya menjadi selingkuhan Cleopatra, saya tetap memilih menjadi tukang kritik bermartabat, saya tidak tergiur kedudukan,”katanya. Kekeliruan dan pembelokan sejarah,juga dikritik dengan lugas oleh Butet dengan menceritakan kisah masa lalu pahlawan nasional Gajah Mada.
Dikisahkannya bahwa dulu di masa mudanya, Gajah Mada punya hobi mengintip orang mandi.“Jangan disadap,karena ini info sangat penting,” celetuk si tukang kritik disambut semakin heboh tawa terpingkal-pingkal di bangku penonton. Si tukang kritik melanjutkan cerita, suatu senja ketika Gajah Mada tengah mengintip seorang wanita, dia merasa penasaran.
Karena penasaran, Gajah Mada memanjat pohon agar bisa mengintip dengan leluasa. Namun, di atas pohon Gajah Mada terkena gigitan lebah. “Akhirnya seperti yang kalian lihat,wajah Gajah Mada bengkak semua, seperti dalam buku sejarah,” katanya memprotes foto Gajah Mada di dalam buku sejarah. Sindiran satir juga terlontar refleks, ketika si tukang kritik merasa haus.
Dia berjalan menuju meja tempat cangkirnya berada. Diseruputnya air yang ada dalam cangkir tersebut.Alangkah kagetnya dia, karena di dalamnya terdapat seekor cicak. “Bambang, Bambang,” si tukang kritik memanggil pembantunya, tapi Bambang diam saja. “Dia berbakat jadi presiden karena tuli.
Tuli itu kan penyakit presiden,” katanya disambut aplus panjang penonton. Kehidupan para seniman yang tidak teratur tidak lepas dari kritik si tukang kritik. “Jangan mencontoh seniman, hidup tidak teratur, baru mengganti celana dalam ketika dapat wangsit,”paparnya.