Cuplik.Com - JAKARTA - Sikap Presiden SBY atas rekomendasi Tim Delapan dalam kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah direspons cepat oleh Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy menegaskan, pihaknya memiliki dua opsi untuk menghentikan kasus itu, deponering atau SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan).
“Kami akan menindaklanjuti (sikap Presiden) sesuai dengan koridor hukum,” tegas Marwan ketika dihubungi koran ini tadi malam. Dia memberikan sinyal bahwa opsi SKPP yang akan dipilih Kejaksaan. “Kemungkinannya akan diambil opsi kedua,” sambungnya.
Namun, Marwan mengatakan, opsi itu hanya diberikan kepada Chandra. Sementara terkait dengan perkara Bibit, Kejaksaan menyerahkan kepada penyidik. Sebab, saat ini berkas perkara Bibit masih ada di tangan kepolisian. Jika dihentikan di kepolisian, maka diterbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Mantan Kajati Jatim itu menjelaskan, untuk mengeluarkan SKPP, Kejaksaan tetap akan memperhatikan hasil penyidikan kepolisian. Sebab, penyidik telah memenuhi petunjuk-petunjuk yang diberikan jaksa. Syarat formil dan materiil sudah terpenuhi. “Kami tidak bisa mematikan penyidik Polri, tetap akan kami keluarkan P-21 (berkas lengkap),” urai Marwan.
Selanjutnya, menjadi kewenangan Kejaksaan untuk menentukan berkas Chandra. “Nanti kami yang menentukan bahwa berkas belum layak diajukan ke pengadilan walaupun sudah P-21,” katanya. Alasannya, lanjut Marwan, perbuatan pidana sesuai dengan pasal yang disangkakan. “Tapi pertanggungjawaban pidananya nggak ada,” imbuh jaksa kelahiran Lubuk Linggau itu.
Stop Kasus Chandra - Bibit
Dalam pidatonya tadi malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kasus dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto tidak dilanjutkan ke pengadilan. Menurut presiden, penghentian kasus itu mesti dilakukan karena masyarakat sudah tidak percaya kepada Polri dan Kejaksaan Agung.
“Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan, dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin.
SBY berpidato selama tiga puluh menit dengan bantuan teleprompter. Saat pidato dibacakan, hadir pula Menkopolhukam Djoko Suyanto, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, Menkum HAM Patrialis Akbar, Menkominfo Tifatul Sembiring, dan Menpora Andi Mallarangeng.
SBY mengatakan, pada mulanya, ia berpendirian kasus Chandra dan Bibit sebaiknya dilanjutkan ke pengadilan. Syaratnya, proses penyidikan dan penuntutan mendapat kepercayaan publik. “Semula saya memiliki pendirian seperti ini, dengan ‘catatan’ proses penyidikan dan penuntutan mendapatkan kepercayaan publik yang kuat. Dan tentu saja proses penyidikan dan penuntutan itu fair obyektif dan disertai bukti-bukti yang kuat,” beber SBY.
Presiden menambahkan, dalam perkembangannya, justru muncul ketidakpercayaan yang besar kepada Polri dan Kejaksaan Agung. Sehingga, menurut presiden, masalah ini telah masuk ke ranah sosial, dan bahkan ranah kehidupan masyarakat yang lebih besar. “Oleh karena itu, faktor yang saya pertimbangkan bukan hanya proses penegakan hukum itu sendiri, tapi juga faktor-faktor lain seperti pendapat umum, keutuhan masyarakat kita, azas manfaat, serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan,” kata SBY.
Mengenai cara yang ditempuh untuk menghentikan perkara, SBY tidak tegas memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk menerbitkan Surat Penghentian Proses Penyidikan (SP3), Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP), atau mendeponir perkara. Presiden mengatakan, dirinya tidak boleh memasuki wilayah itu.
“Karena penghentian penyidikan berada di wilayah Lembaga Penyidik, Polri, atau penghentian tuntutan merupakan kewenangan Lembaga Penuntut, Kejaksaan, serta pengenyampingan perkara melalui pelaksanaan asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung,” kata SBY. Presiden hanya menginstruksikan Kapolri dan Jaksa Agung untuk menertibkan, membenahi, dan memperbaiki institusi masing-masing. Presiden juga berharap KPK melakukan hal yang sama.
SBY menambahkan, setelah penyelesaian kasus Chandra dan Bibit, reformasi di bidang hukum harus dituntaskan. Dia mengingatkan, dalam program seratus hari kabinet, dia telah menetapkan gerakan Pemberantasan Mafia Hukum sebagai prioritas utama. Dia telah membentuk Satuan Tugas di bawah Unit Kerja Presiden yang selama dua tahun kedepan akan bertugas memberantas mafia hukum. “Dalam kaitan ini, saya menyambut baik rekomendasi Tim Delapan dan juga suara-suara dari masyarakat luas agar tidak ada kasus-kasus hukum, utamanya pemberantasan korupsi yang dipetieskan di KPK atau juga di Polri dan Kejaksaan Agung,” kata SBY.
Entah apa maksud SBY. Ia menyebut KPK di urutan pertama. Dalam kalimat-kalimat sebelumnya, SBY menyebut KPK di urutan terakhir setelah Polri dan Kejaksaan.
SBY mengatakan, jika suatu kasus tak cukup bukti, harus dihentikan. Namun sebaliknya, jika cukup bukti mesti dilanjutkan. “Hal ini untuk menghindari kesan adanya diskriminasi dan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Apalagi kalau pemeti-esan ini berkaitan dengan praktik-praktik Mafia Hukum tadi,” kata presiden.
Dari lima rekomendasi Tim Delapan, hanya rekomendasi untuk menghentikan kasus Chandra dan Bibit yang diindahkan presiden. Itu pun, presiden tidak tegas langsung memilih opsi penghentian kasus, dengan alasan ia tidak berwenang. Sedangkan rekomendasi kedua berupa sanksi terhadap pejabat yang bertanggung jawab, tidak disinggung presiden. Presiden hanya meminta Kapolri dan Jaksa Agung membenahi institusinya.
Untuk rekomendasi ketiga berupa pemberantasan makelar kasus, SBY menyinggung program pemberantasan mafia hukum yang telah dilakukan. Rekomendasi untuk memeriksa Anggodo Widjojo dan Ary Muladi, tidak disinggung presiden. Sedangkan rekomendasi keempat agar dituntaskan kasus terkait, tidak disinggung presiden. Rekomendasi kelima berupa pembentukan Komisi Negara untuk membenahi lembaga penegak hukum, belum digubris presiden.
Kasus Century
Di bagian awal pidatonya, SBY kemarin juga secara khusus menyinggung kasus Bank Century. Setelah menerima hasil pemeriksaan investigasi BPK, SBY meminta Menteri Keuangan dan Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan dan klarifikasinya. “Saya sungguh ingin keterbukaan dan akuntabilitas dapat kita tegakkan bersama. Saya juga ingin semua desas-desus, kebohongan, dan fitnah dapat disingkirkan dengan cara menghadirkan fakta dan kebenaran yang sesungguhnya,” kata SBY.
Presiden juga menyambut baik usulan sejumlah anggota DPR RI untuk menggunakan Hak Angket terhadap Bank Century. “Bersamaan dengan penggunaan Hak Angket oleh DPR RI tersebut, saya juga akan melakukan sejumlah langkah tindakan internal pemerintah, berangkat dari hasil dan temuan Pemeriksaan Investigasi BPK tersebut,” kata Presiden.
SBY juga meminta percepatan proses hukum bagi para pengelola Bank Century. Sehingga, dana penyertaan modal Rp6,7 triliun bisa segera dikembalikan kepada negara. “Saya telah menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk melaksanakan tugas penting ini,” kata SBY.
Presiden mengatakan, tindakan terhadap Bank Century dilakukan saat situasi perekonomian global dan nasional diterpa krisis. SBY mengatakan, yang dilakukan pemerintah dan BI pada November 2008 lalu mesti dikaitkan dengan situasi dan konteks krisis. “Sehingga tidak dianggap keadaannya normal-normal saja,” katanya.
SBY menjelaskan, penyelamatan dan penyertaan modal sementara ke Bank Century dan tindakan hukum terhadap pengelolanya, bertujuan mencegah terjadinya krisis perbankan dan perekonomian. “Meskipun ketika berlangsungnya proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan tugas untuk itu saya sedang mengemban tugas di luar negeri,tetapi saya memahami situasi yang ada di tanah air, beserta rangkaian upaya untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian kita,” beber SBY.