Oleh: Frenky Mubarok
Perempuan yang duduk sendirian itu terus memandangku. Aku coba untuk membalas tatapannya, tapi tatapannya yang tajam mengalahkanku. Ahirnya aku hanya bisa menghela nafas, tersenyum datar dan kembali menekuri laptopku.
Mungkin ini adalah godaan pertama untuk pria yang baru memulai rumah tangga. Kata teman-temanku, ketika kita dulu masih lajang susah sekali mencari gadis yang ingin kita ajak kencan, tapi ketika kita sudah punya pasangan apa lagi sudah berkeluarga, entah kenapa para gadis seolah berhamburan menggoda kita, mengantri satu persatu kita kencani. Tapi aku hanya mengganggap ucapan teman-temanku hanyalah bualan omong kosong belaka, tidak ilmiah sama sekali.
Aku juga tak mungkin menghianati istriku begitu saja. Setidaknya tidak secepat ini, kami baru dua bulan menikah, aku tak mau usahaku mengencani dia selama tiga tahun dan ahirnya berlabuh ke dalam biduk rumah tangga, hancur begitu saja karena satu kesalahan fatal.
Aku kenal istriku, Sulastri , saat aku sudah semester ahir kuliah. Ia dua kelas di bawahku dan kami beda universitas. Aku beruntung mendapatkan dia, hanya berawal dari sebuah percakapan sederhana di Bus Trans Jogja. Setelah itu aku sering kontak dengan dia. Dari komunikasi yang terus menerus itu ahirnya kami menemukan kecocokan di antara kami.
Semula ia adalah mahasiswi yang tidak begitu religius sampai ahirnya ia mengutarakan ketertarikannya untuk belajar agama lebih banyak. Ia kemudian banyak bertanya kepadaku tentang masalah agama Islam. Aku tak mau terlalu mengguruinya, ahirnya aku pinjami buku-bukuku yang berisi hal keagamaan untuk ia pelajari sendiri dan lambat laun kami pun mulai banyak berdiskusi tentang hal keagamaan sampai ahirnya ia memutuskan untuk menutup auratnya dengan jilbab.
Aku terkejut saat tiba-tiba aku tersadar perempuan yang memandangiku tadi sudah berdiri di hadapanku. Ia tinggi semampai. Tubunya yang lansing dan montok dibalut dengan gaun sampai atas lutut. Gaun itu begitu ketat hingga mempertotonkan keindahan lekuk tubunya yang mulus. Ia tersenyum kepadaku.
“boleh aku duduk di sini?”
Aku tercekat. Ludah kutelan sebanyak-banyaknya. Ini pun tak membuat aku tenang. Lalu kuraih cankir yang kopinya sudah mulai dingin di hadapanku, kuminum sedikit untuk menenangkan degup jantungku. Inikah persaan bersalah menghianati istri.
Aku mempersilahkannya. Ia menaruh pantatnya dengan gemulai di kursi tepat di depanku. Aroma parfum mulai memenuhi hidungku.
“anda seorang penulis?” ia mencoba memulai percakapan.
“ya begitulah” jawabku datar.
“aku perhatikan setiap sore anda datang ke café ini”
Edan, sudah berapa lama ia mengamatiku. Apa mungkin ia adalah suruhan sainganku di kantor yang berusaha menjebakku dalam skandal agar reputasiku hancur di perusahaan. Atau munkinkah ia suruhan istriku, untuk menguji seberapa kesetiaanku padanya. Tapi itu semua sepertinya tidak mungkin, karena di kantor aku hanya sebagai pegawai rendahan dan istriku tidak mungkin sampai berbuat sejauh ini. Ahirnya aku hapuskan perasaan konyol itu dan coba mengikuti arah pembicaraan ini.
“ya begitulah” jawabku sambil terus menekuri laptopku.
Lalu dengan tiba-tiba ia menutup laptopku, jari-jari tanganku hampir saja terjepit olehnya. Dengan suara yang bernada agak tinggi. “kenapa anda hanya bilang ‘ya begitulah- ya begitulah’ saja. Anda mengacuhkan saya?” tingginya volume suara gadis itu membuat tamu-tamu di café menoleh ke arah meja kami.
Gila. Dari mana datangnya gadis liar ini. Tanpa ada rasa bersalah ia melanjutkan.
“oh iya, kita belum berkenalan, nama saya Tanti” ia menyodorkan tangannya. Terliahat jari-jari lentik dan indah dengan kuku yang ber-cat merah. Aku balas uluran tangannya.
“saya amir”
Tanpa minta persetujuanku dulu, ia lalu mengambil cangkir kopiku dan meminumnya sampai habis. Aku terkejut.
“ehem. Karena kopi sudah habis jadi maaf nona saya harus pergi. Saya ditunggu istri di rumah”
Aku beranjak meninggalkan perempuan itu tanpa menoleh lagi. Lega rasanya lulus dari jeraatan iblis cantik itu.
Hari berikutnya aku memutuskan untuk tak kembali lagi ke café itu untuk menulis atau mengerjakan tugas kantorku. Sepulang kerja aku langsung pulang ke rumah. Walau tak begitu bisa menikmati suasana rumah untuk menulis, aku coba beradaptasi. Aku merasa lebih nyaman jika menulis di café. Kebiasaan ini sudah kulakukan sejak masih duduk di bangku kuliah dulu, selain suasana yang nyaman aku bisa menikmati layanan hot spot internet gratis. Kebiasaan ini tetap aku lakukan sampai aku lulus kuliah dan bekerja, walau aku aku harus membatasi diri untuk tidak nongkrong terlelu lama di café.
Aku terkejut ketika mendapati di rumahku seorang tamu yang sama sekali tak aku duga. Aku melihat istriku sedang ngobrol begitu asiknya dengan seorang perempuan berjilbab.
Kuketuk pintu dan mengucap salam. Mereka menghentikan obrolannya dan menjawab salamku. Istriku menghampiri, meraih tangan kananku dan menciumnya, lalu ia merengkuh tas dari genggaman tangan kiriku. Untuk menghilangkan rasa penasaran aku lalu bertanya pada istriku siapa gerangan gadis berjilbab itu.
“ah bapak itu kan sepupu bapak, ia datang dari Indramayu ke jogja untuk mencari pekerjaan. Dan untuk sementara ini ia akan tinggal di rumah kita. Boleh kan pak?”
Aku menghampiri gadis itu. Aku seperti tersambar petir ketika mengetahui ternyata gadis itu adalah gadis yang menggodaku di café dua minggu yang lalu. Dia benar-benar sudah nekat, bahkan berani masuk ke rumah dan mempengaruhi istriku. Aku bingung harus berbuat apa, lalu tanpa aba-aba ia merengkuh tanggan kananku dan mencium layaknya seorang adik pada kakaknya.
“aku Tanti mas. Anak dari pak Darma”
Aku terpaksa bersikap ramah. Istriku masuk ke kamar menaruh tas dan ke dapur untuk membuatkan teh panas untukku. Aku hanya duduk terdiam di hadapan gadis itu. Ia tersenyum seolah mengejekku.
Malam itu aku tidur di ruang tamu. Dan istriku tidur bersama Tanti di satu-satunya kamar kontrakan kami. Aku cuma bisa memaki dan mengumpat dalam hati kenapa aku bisa membiarkan orang asing masuk ke rumah dan mengacaukan semuanya. Esok harinya istriku semakin akarab saja dengan Tanti. Di rumahku sendiri kini aku diacuhkan seolah aku tidak ada, sementara mereka berdua asik tertawa terkekeh melihat acara lawak di televisi, atau berdedebat tentang salah satu artis yang sedang mencari sensasi di infotaiment.
Aku semakin tersudutkan ketika tanti mulai mencampuri urusan menu makanku, yang menurutnya tidak sehat. Aku dipaksa untuk memakan makanan yang tidak aku sukai. Dan yang paling menyedihkan lagi aku rindu akan kehangatan istriku, sudah satu minggu aku diacuhkan olehnya.
Pada suatu sore setelah aku pulang, aku lelah, istriku sedang sibuk di dapur dan hanya tanti yang menyambutku di ambang pintu. Ia menyalamiku, mencium tanganku dan mengambil tasku seperti yang biasa istriku lakukan. Aku yang kesal akan kehadirannya secara reflek menyalak.
“Tanti, cukup ! sekarang buka topengmu, sebenarnya siapa kamu? Kamu bukan adik sepupuku, karena wa Darma tidak memiliki anak perempuan sepertimu. Jadi kau bukanlah saudaraku. Satu lagi kau pernah menggodaku waktu di café. Aku sudah menolakmu, karena aku tak mau menghianati istriku, lantas kenapa kau masuk kerumahku dan mengacaukan semuanya. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?”
Tanti hanya tercekat dan sejurus kemudian ia menangis tesedu-sedu. Aku coba untuk tegar dan mencoba menyelesaikan kata-kata yang telah aku mulai. Sebagai kepala rumah tangga aku harus tegas, aku tak boleh membiarkan orang asing mengusik ketenangan rumah tanggaku.
“sekarang juga kamu harus keluar dari rumah ini Tanti, jika tidak aku akan panggil polisi?”
“tidak mas, tanti tetap di sini. Ia sudah cerita semuanya” tiba-tiba istriku keluar dari pintu dapur.
“cerita. Cerita apa?”
“cerita bahwa tiga bulan yang lalu sebelum kita menikah kau pernah ke semarang dan tidur dengannya di rumah bordil” . aku tersentak bagaikan disengat listrik ribuan watt mendengar kata-kata istriku.
“itu bohong” belaku.
“ingatkah kamu mas tiga bulan yang lalu, kau pergi bersama bosmu ke semarang, di sana kalian mampir di sebuah bar. Kau dipaksa meminum minuman beralkohol hingga mabuk. Aku disuruh bosmu untuk melayanimu, lalu kubawa kau ke kamar hotel dan ketika aku membuka pakaianmu aku menemukan sebuah al-qur’an kecil dibalik saku jaketmu. Melihat kitab mungil itu aku tak berani meneruskan pekerjaanku. Aku merasa bahwa kau bukanlah laki-laki hidung belang seperti yang sering aku temui.
Di kamar hotel itu kamu tak bisa diam, kamu bercerita banyak sekali tentang dirimu keluargamu yang sangat kamu sayangi, pekerjaan yang membelenggu kehidupanmu sampai tentang tunanganmu yang sangat kamu cintai dan sebentar lagi akan kau nikahi. Setelah kamu tertidur aku pergi meninggalkanmu dengan membawa al-qur’an kecil itu. Dalam hati kecilku aku harus kembali dan memilikimu, bagaimana pun caranya. Aku mencoba merayumu di café namun itu tak berhasil. Lalu berbekal informasi yang aku dapat dari kantor tempat kerjamu yang pernah kamu ceritakan padaku, aku pergi ke rumahmu dan bertemu istrimu. Aku ceritakan semuanya, tentang hidupku yang kotor, tentang betapa aku mencintai dan mendambakanmu. Dan disinilah aku sekarang.”
Istriku memeluk tanti erat-erat mencoba menenangkan tangisannya. Aku lunglai jatuh terduduk di atas sofa. Pikiranku kosong bingung keputusan apa yang harus aku ambil.[]
Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
aktif di teater "Kerikil" KAPMI D.I. Yogyakarta
Asal daerah: Indramayu - Jawa Baarat