Profesor Antropologi Budaya Kangwon National University, Korea Selatan Hyung-Jun Kim menyatakan sosok Din Syamsuddin sebagai pimpinan yang kritis dan cenderung oposisi dengan pemerintah, sementara muktamirin mendendangkan keinginan agar Muhammadiyah bergandeng tangan dengan pemerintah.
"Peserta sidang komisi bicara agar Muhammadiyah harus berhubungan baik dengan pemerintah. Kalau itu yang dikehendaki, kenapa Din (Syamsuddin) mendapat suara terbanyak? Kalau Din memimpin Muhammadiyah seharusnya Muhammadiyah menjadi oposisi pemerintah, mengapa orang-orang di dalamnya bicara kita baik-baik dengan pemerintah," ujar dia saat diskusi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (6/7).
Dengan ketimpangan sosok pimpinan dan keinginan umat tersebut, dia menyatakan sosok pribadi pucuk pimpinan dan 12 anggota PP Muhammmadiyah menjadi tidak terlalu penting di ormas ini. Yang penting, 13 pimpinan terpilih menjalankan amanat, ormas lebih mengutakam sistem dari pad orang.
Professor Emiritus, Chiba University, Jepang Nakamura Mitsuo mengkritik praktik pemilihan pimpinan dalam muktamar. Apabila muktamar sebelumnya pimpinan dipilih setelah program selesai dibahas, Muktamar Seabad Muhammadiyah memilih pimpinan dulu, program ormas baru dibahas.
"Kongres ini belum menentukan strategi (program) organisasi, peserta memilih dulu pimpinan. Apa masuk akal?," ujar dia.
Dia terkesan cara tersebut mungkin saja sebagai cara Muhammadiyah membendung intervensi dari luar. Fenomena yang mirip terjadi pada masa Presiden Soeharto maupun Presiden Soekarno, ketika pemerintah menekan ormas ini. Tetapi, dia merasa aneh bahwa Muktamar Seabad Muhammadiyah justru muktamirin sangat terfokus pada siapa yang memimpin Muhammadiyah.
Sebagaimana diberitakan, Din Syamsuddin mengantongi suara terbanyak dalam pemilihan anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Muktamar Muhammadiyah ke-46, Senin (5/7).