Cuplik.com - Jakarta - Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdurrahman Wahid menilai kekerasan berbasis agama yang kian marak terjadi akhir-akhir ini, adalah karena agama diletakkan sebagai sebuah lembaga dan bukan sebagai budaya. Sehingga, komunikasi sesama umat menjadi terpotong-potong dan tersekat-sekat.
"Sebenarnya ada satu hal yang paling sulit untuk dipahami bahwa agama itu adalah budaya. Konsep seperti itulah yang berlaku pada Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), KWI. Jadi semua itu makhluk budaya," kata Ketua Umum Dewan Syuro PKB itu dalam acara Kongkow Bareng Gus Dur di Teater Utan Kayu, Jakarta, Sabtu (27/9).
Gus Dur pun menjadi heran dan terkaget-kaget, jika ada yang mempertahankan mati-matian agama, seolah-seolah agama itu sebuah institusi. "Sebuah lembaga yang nggak boleh diganggu sedikit pun," ungkap mantan Presiden RI ini dengan penuh heran.
Lantas, apa yang menyebabkan cara pandang umat seperti itu? Menurut Gus Dur, cara pandang tersebut dipengaruhi oleh pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto. "Pak Harto menganggap Islam itu pada lembaga keislamannya. Seperti halnya, Pak Harto yang hanya mementingkan Majelis Ulama Indonesia (MUI)," cetus Gus Dur.
Padahal, lanjut Gus Dur, lembaga tidak ada artinya, sebab yang penting itu adalah budayanya. Apalagi, budaya umat Islam sekarang ini bersikap galak pada semua orang.
Mengutip, Guru Besar Filsafat UI Prof Dr Toety Herati Noerhady, Gus Dur melihat budaya kekerasan (culture of violence) disebabkan pada komunikasi antara golongan terputus, tersekat-sekat. Kenapa? "karena orang berbicara menggunakan kekerasan. Inilah keadaan kita dewasa ini," ujar Gus Dur.