Cuplik.Com - Jakarta - Ketua Departemen Keuangan DPP Partai Demokrat Ikhsan Modjo melihat, alotnya pembahasan Rancangan Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) dikarenakan dalam draft RUU itu disebutkan kelembagaan BPJS bersifat nirlaba (keuntungan digunakan sepenuhnya bagi peserta jaminan sosial).
Dikatakan, dengan bentuk asuransi sosial yang bersifat nirlaba, sangat berat bagi empat perusahaan BUMN yang saat ini menyelenggarakan jaminan sosial, seperti PT Jamsostek, PT Akses, PT Taspen, dan PT Asabri untuk menyesuaikan hal itu.
Pasalnya, selama ini dengan sistem asuransi non-nirlaba, keuntungan yang diperoleh empat BUMN itu selalu menjadi milik karyawan, dan pimpinan perusahan itu. Jika sistem itu berubah menjadi nirlaba, para karyawan, dan pimpinan perusahaan tentu tidak akan menikmati lagi hasil keuntungan yang dicapai.
“Sangat berat bagi mereka, sistem nirlaba terlihat tidak realistis bagi mereka. Dengan sistem nirlaba akan mengurangi pemasukan bagi karyawan, dan para pimpinan perusahaan itu. Bayangkan, Jamsostek saja memiliki aset 60 triliun lebih,” jelas dia saat ditemui pers di Jakarta, (5/5).
Selain sistem nirlaba, pembahasan RUU BPJS juga alot karena dalam draft disebutkan keempat BUMN itu harus melebur jadi satu badan, masuk ke dalam BPJS. Menurut dia, pemerintah pun tidak akan mau melepas keempat BUMN itu untuk melebur menjadi satu, karena akan sulit menyatukan ribuan karyawan, dan puluhan pimpinan perusahaan.
“Mau dikemanain empat BUMN itu, karyawannya dan pimpinan perusahaan lainnya mau dikemanain juga,” tanya dia.
Menurut Ikhsan, selama perbedaan itu tidak diselesaikan, disahkannya RUU BPJS hanya mimpi di siang bolong. Kebuntuan dalam pembahasan akan terjadi kembali, akhirnya memaksa RUU BPJS tidak bisa disahkan.
Dirinya menyodori alternatif solusi mengenai itu. Menurut dia, untuk asuransi sosial seperti jaminan pengangguran, kesehatan, kecelakaan kerja, dan kematian memang harus dikelola secara nirlaba. Namun, untuk jaminan pensiun dan hari tua, sebaiknya dikelola secara profesioanl non-nirlaba.
Meski begitu, Direktur Eksekutif Financial Reforms Institute ini juga menegaskan, BPJS tetap harus ada, karena merupakan amanat dari UUD 1945, dan UU 40/2004. Karena itu, ia juga mendorong agar delapan kementerian yang telah ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membahas hal itu dengan serius.
“Pertama yang harus dibicarakan adalah soal kelembagaan itu. Sampaikan secara terbuka ke DPR melalui dialog antara pemerintah dan DPR. Jangan gembar-gembor di media saja. Cari jalan keluar mengenai perbedaan pandangan itu,” papar Ikhsan Modjo.
Diakui dia, saat ini memang telah ada jaminan sosial, seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Namun, kata dia, jaminan sosial itu bentuknya ad hoc (sementara). Belum tentu, ungkap Ikhsan, pada pemerintahan berikutnya jaminan sosial itu juga ada.
Dirinya pun membantah jika anggaran untuk terselenggaranya jaminan sosial akan membebankan fiskal negara. Menurut dia, negara tidak akan terbebani oleh anggaran jaminan sosial. masalahnya, ucap dia, adalah tarik menarik kepentingan masing-masing institusi.
“Tarik menarik ini bukan tarik menarik kepentingan Parpol. Tapi individu-individu yang mempunyai kepentingan. Misalnya, kalau BPJS berjalan, Jamkesda/Jamkesmas menjadi tidak ada. Atau bantuan sosial yang ada di Mensos menjadi berkurang,” papar dia.
Ia juga melihat, keengganan pemerintah dalam membahas RUU BPJS bukan karena kurangnya political will Presiden SBY. Namun, karena kepentingan ego sektoral antar kementerian. Karena itu sebagai fungsionaris Partai Demokrat, dirinya berjanji akan memberi masukan-masukan kepada Presiden agar wakil-wakil pemerintah, yakni delapan menteri yang ditunjuk membahas RUU itu, benar-benar melaksanakan instruksi presiden tanpa ada kepentingan sektoral didalamnya.