Demikian dikemukakan oleh Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana (KSP BSB), Andi Arief dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Jakarta, Minggu (15/05). Andi tidak asal bunyi. Apa yang diungkapkannya ini merupakan hasil penelitian tim ahli dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung serta SKP BSB. Tim yang terdiri dari pakar gempa dan geologi tersebut, sejak beberapa bulan lalu melakukan penelitian terhadap sejumlah patahan lempeng yang diduga terjadi akibat bencana purba yang berkala besar (katastropik).
"Yang kita diteliti baru di tiga tempat, yakni patahan Sumatera, patahan Lembang, dan Selat Sunda." Dikemukakannya, di ketiga lokasi patahan yang diteliti tersebut, Tim Katastropik menyimpulkan ketiganya menyimpan potensi gempa besar. "Di atas 8 SR. Yang lain belum diteliti, jumlahnya ribuan," ujar Andi.
Lebih jauh Andi menyebut, untuk Jakarta, pusat ancaman tersebut berada di Selat Sunda, setelah Tim Katastropik menemukan bekas patahan gempa purba. "Dahulu ada pelepasan energi yang sangat besar di sana, sehingga diprediksi jika terjadi gempa bisa mencapai 8,7 skala richter di Jakarta. Saat ini kita sedang buat modellingnya," ujar Andi.
Dikemukakan Andi, sebagai sebuah kota besar, Jakarta termasuk salah satu dari 20 kota besar dunia yang perlu mengantisipasi datangnya bencana besar. Kota yang lainnya, sambung dia, di antaranya Tokyo, Jepang dan Tripoli, Libya.
Sedangkan di Bandung, Andi menyebut, Tim Katastropik menemukan bekas danau di zaman purba yang pernah mengalami gempa besar. "Ditemukan bukti pada zaman purba, kota Bandung sekarang ini, dulunya adalah danau. Itu sekitar 16 ribu tahun lalu," ucap Andi.
Penelitian menemukan sebuah sesar yang berada di Bandung. Sesar, yang dalam istilah ilmiah disebut fault, merupakan retakan di kerak bumi yang mengalami pergeseran atau pergerakan. Sesar Lembang, demikian namanya.
Sesar tersebut membelah daerah Maribaya hingga Cisarua. Panjangnya mencapai 22 kilometer. Sesar ini merupakan salah satu sesar aktif di pulau Jawa yang berhubungan dengan aktivitas gunung Sunda purba. Sesar Maribaya terhubung dengan sesar Cimandiri dan sesar Baribis yang juga aktif
Fakta bahwa sesar lembang bergeser 2 mm per tahun itu, adalah sebuah peringatan akan potensi bencana. Laju sesar ini memang bisa memicu gempa besar yang merusak.
Dikemukakan pula, pergerakan sesar Lembang sudah dipantau. Keberadaan patahan lempeng bawah tanah itu akan terus dipantau dan dibuat pendetailannya. Hal ini untuk mengantisipasi potensi gempa besar yang bisa saja mengancam Kota Bandung dan sekitarnya.
Andi mengatakan, saat ini Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara maju dalam hal riset soal gempa. Sebagai wilayah yang berada di ‘ring of fire' pasifik hasil riset gempa yang dimiliki masih sangat minim.
Andi mengemukakan di Jepang, studi gempa sudah ada sejak 1925. Sedangkan Amerika Serikat sudah memulianya sejak sekitar tahun 1930-40-an. Jerman juga 1940-an. "Kita walaupun agak terlambat mencoba mengatasi, mengejar ketertinggalan yang ada," ujar dia.
Indonesia, ujar Andi masih sangat membutuhkan ahli. "Merumuskan peta gempa dibutuhkan ahli. Ilmu tentang bencana tidak seksi. Orang belajar geologi dan geodesi lebih tertarik ke penambangan minyak dan batubara. Saat ini kita punya ahli gempa masih sedikit. Hanya hitungan jari," pungkas Andi.