Hal tersebut terbuktikan ketika Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), LSM tersebut, mendaftarkan gugatan legal standing terkait kontrak karya antara Freeport dengan Pemerintah Indonesia. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain Freeport, Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Presiden dan DPR RI juga menjadi pihak tergugat.
Saat ditemui Selasa (19/7), kuasa hukum IHCS Janses E Sihaloho mengatakan persidangan ditunda oleh majelis hakim yang diketuai Sukoharsono karena para pihak tidak hadir seluruhnya. Hanya tergugat I Menteri ESDM dan tergugat II Freeport yang hadir. "Sidang dilanjutkan 9 Agustus 2011" ujar Janses.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal IHCS Gunawan menjelaskan pihaknya menggugat Freeport karena perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu tidak membayar royalti sebagaimana mestinya. Merujuk pada kontrak karya (KK) yang diperpanjang tahun 1991, Freeport memang diwajibkan membayar royalti emas kepada Pemerintah Indonesia sebesar satu persen.
Namun, menurut Gunawan, besaran itu tidak lagi sesuai dengan peraturan yang berlaku. IHCS menyebut PP No 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang menetapkan royalti emas sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonase. Angka ini, menurut Gunawan, sebenarnya cukup rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Afrika.
Tetapi, meski hanya satu persen, Freeport ternyata dituding tidak pernah membayar royalti emas. Selama 25 tahun, kata Gunawan, Freeport hanya membayar royalti tembaga kepada Pemerintah Indonesia. Awalnya, merujuk pada KK I tahun 1967, Freeport memang melaporkan hanya menambang tembaga. Padahal, terhitung sejak tahun 1978, Freeport ternyata juga mengekspor emas.
Karena tidak membayar royalti sebagaimana semestinya, Gunawan sebagai warga negara merasa dirugikan. Pembayaran royalti itu seharusnya menjadi salah satu sumber PNBP yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. "Atas dasari itu, Kontrak Karya II antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport harus dibatalkan," tukasnya.
Lebih jauh, Gunawan menilai KK Freeport sudah tidak lagi memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam 1320 KUH Perdata. Pasalnya, KK jelas bertentangan dengan PP No 45 Tahun 2003, karenanya dapat dianggap batal demi hukum. "Seharusnya PP tersebut mengikat Freeport Indonesia sehingga pemerintah dan DPR melakukan renegoisasi kontrak karya Freeport," ujarnya.
Sementara itu Juru bicara Freeport Ramdani Sirait mengatakan pihaknya tetap berkomitmen untuk mematuhi seluruh perjanjian dan peraturan yang berlaku. Dia berkeyakinan Kontrak Karya antara Freeport dan Pemerintah Indonesia cukup adil. "Dan merupakan kontrak karya yang lebih baik dibanding dengan negara-negara penghasil mineral lainnya," klaimnya.
Tidak hanya itu, kata Ramdani, selama empat dekade lebih beroperasi di Indoenesia, Freeport telah memberikan kontribusi lebih dari AS$12 miliar sesuai dengan kontrak yang diteken pada 1991. "Kontribusi tersebut terdiri dari pajak, dividen dan royalti untuk produksi tembaga, emas dan perak. Kami berharap masih ada beberapa dekade ke depan untuk kelanjutan kesuksesan," pungkasnya.