"Mereka harus diperiksa dengan hukum acara pidana, bukan sekedar wawancara dengan tim etik, harus diukur dengan norma pidana bukan norma etik," ujar politisi PKS Abu Bakar al-Habsyi, kamis (6/10/11).
Sikap Komite Etik ini menurutnya, preseden buruk dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, dimana tindak pidana tidak disidik oleh penyidik, tidak dituntut oleh penuntut umum, tidak disidang oleh hakim, tidak menggunakan hukum acara, namun menyatakan orang tidak terbukti melakukan tindak pidana.
"Saya melihat putusan komite etik sudah off side, bagaimana mungkin Komite Etik yang memeriksa perkara etik bisa membuat disclaimer tidak ada pelanggaran pidana,"
Dia juga menilai bahwa keputusan Komite Etik KPK tidak tepat bila tidak ada pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pimpinan KPK. "Ada atau tidaknya pelanggaran pidana adalah ranah kerja pengadilan, hakimlah yang berwenang memutuskan hal ini,".
Lebih jauh Abu menilai heran dengan adanya pembentukan Komite Etik jika didasarkan pada pasal 36 ayat 1 UU KPK, "saya rasa tidak tepat. Karena menurut pasal 65 UU KPK, pelanggaran tersebut pada pasal 36 ayat 1 bukan pelanggaran etik, melainkan pelanggaran pidana. Atau bila tim etik dibentuk berdasarkan Keputusan pimpinan KPK No: Kep-06/P.KPK/02/2004 tentunya tidak boleh bertentangan dengan UU KPK," paparnya.
Sehingga Dia berharap sidang Komite Etik jangan dijadikan sebagai alasan untuk menghindari persidangan di peradilan.
"Jika sebelumnya oknum KPK menghindari persidangan melalui deponering, sekarang menghindari persidangan melalui sidang kode etik," tegasnya.
Namun Abu tetap mendukung terhadap KPK. "Saya dukung penguatan KPK, namun kita harus cegah KPK dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menyelamatkan diri," tandasnya.