Cuplik.Com - Jakarta - Pemberantasan korupsi masih membutuhkan pengadilan Tipikor di daerah, untuk itu penyederhanaan institusi lebih baik daripada pembubaran dan penambahan pengadilan, tetapi meski ada perbaikan dalam sistem perekrutan hakim ad-hoc yang lebih berkualitas terhadap masalah tipikor di Daerah.
"Saya lihat peradilan tipikor masih diperlukan, mengingat load perkaranya yang cukup tinggi. Peradilan ini juga diperlukan agar persoalan tipikor dapat diproses dalam persidangan yang benar-benar telah menguasai persoalan korupsi, mengingat tindak pidana ini termasuk 'extra ordinary crime'," ujar Anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Al Habsy, Selasa (8/11).
hal itu menurutnya, sesuai semangat bangsa dalam memberantas korupsi. Namun memang diperlukan perbaikan atas atas penyelenggaraan peradilan tipikor di daerah. Salah satu di antaranya adalah pola rekruetmen hakim ad-hoc, "belajar dari Pengadilan Tipikor Bandung yang memiliki hakim mantan terpidana tipikor, sungguh ini preseden tidak baik," paparnya.
"Saya harap pelibatan KY dalam perekrutan hakim ad hoc akan mampu menjawab persoalan ini. Harus diperhatikan pula kualitas dan integritas para jaksa penuntut umum yang menangani persoalan korupsi, mereka harus mampu menghadirkan alat bukti yang proper dan firm, Jangan sampai sebuah perkara yang tidak cukup bukti atau bahkan bukan tindak pidana dipaksakan masuk pengadilan," imbuhnya.
Aboe melihat, kabijakan KPK patut dicontoh, dimana dalam SOP (Standard Operational Procedure) internal mereka mewajibkan adanya empat alat bukti, bukan sekedar dua alat bukti. Dengan demikian, akan ada keyakinan sangat kuat bahwa perkara tindak pidana korupsi tersebut memang telah layak masuk ke pengadilan tipikor.
Pada sisi lain, lanjutnya, Perlu peningkatan kualitas pengawasan yang dilakukan oleh KY (Komisi Yudisial) dan Komjak (Komisi Kejaksaan) atas kinerja dan integritas hakim serta jaksa dalam proses persidangan tipikor.
"saya yakin ini akan efektif untuk menghalau mafia peradilan tipikor. Hemat saya, diperlukan perbaikan manajemen peradilan tipikor, seperti MK misalnya, transparansi dan profesionalisme sistem peradilan sangat diperlukan, sehingga masyarakat dan LSM pegiat anti korupsi akan dapat mengakses persidangan dengan mudah," jelasnya.
Untuk itu, Aboe berharap, agar tidak ada lagi kongkalikong antara orang disekitar peradilan tipikor dengan para terdakwa korupsi. Karenanya jangan lagi menambah jumlah pengadilan tipikor daerah,
"saya tidak sepakat bila pengadilan ini dibentuk di setiap daerah, cukup sudah. Kalo di tambah, pengawasan jadi sulit bila ada mafia peradilan. Saya kira yang sekarang ada sudah cukup," tegas politisi dari Fraksi PKS itu.
Dia menjelaskan, amanah UU nomor 46 tahun 2009 tentang Tipikor, MA telah membentuk pengadilan tipikor di 33 pengadilan negeri dan 30 pengadilan tipikor tingkat banding, 15 diantaranya diresmikan MA pada bulan oktober kemarin, 14 diresmikan bulan April, pada November 2010 diresmikan tipikor Bandung, Semarang, dan Surabaya.
"Untuk memantau yang ada itu saja sudah cukup repot, jadi jangan ditambah lagi. Mungkin perlu dikaji adanya penyederhanaan, misal dibuat Korwil (koordinator wilayah) saja, ada Surabaya yang bisa handle Indonesia Timur, ada Banjarmasin yang dapat handle Indonesia Tengah, sedang Sumatera bisa di handle oleh Medan, saya rasa penyederhanaan jumlah ini lebih baik daripada pembubaran," sarannya.
