Hal itu diungkapkan oleh Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) terhadap hasil rapat kerja (raker) yang diselenggarakan oleh Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas) dengan Mendagri, Menkumham, Menlu, Bappenas, Mensos, Menag, Menpora, Kepolisian, Kejaksaan, dan BIN pada 23 dan 30 November serta 1 Desember 2011.
"Sebagian anggota Pansus berpendapat aktifitas ormas bukan mendasarkan pada kepentingan masyarakat, tetapi memenuhi keinginan lembaga donor, sehingga terkesan menjual negara sendiri kepada pihak asing," ujar salah satu lembaga yang tergabung dalam KKB, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, Selasa (6/12).
Ronald memaparkan beberapa contoh kasus yang diangkat oleh Pansus antara lain, praktik Ormas anarkis seperti FPI, demonstrasi yang berujung pada kekerasan, dan penggunaan dana APBD oleh LSM tanpa akuntabilitas yang jelas.
Namun, lanjutnya, DPR belum menentukan definisi dan ruang lingkup Ormas dalam RUU Ormas. DPR mempertanyakan usulan definisi yang diajukan oleh pemerintah yang dianggap masih gagal mewadahi berbagai bentuk 'praktik' organisasi masyarakat yang ada saat ini."Apakah RUU Ormas menjadi 'payung' bagi undang-undang lain? Atau hanya mengatur secara spesifik terkait ormas yang bermasalah?," paparnya.
Selain itu, Ronald melihat bahwa Ormas akan diwajibkan mendaftarkan ke Kemendagri dengan sistem satu pintu, audit keuangan, sanksi (bagi yang tidak mendaftar dan yang melanggar ketentuan), hingga usulan pengetatan syarat demonstrasi yang diusulkan oleh Kepolisian.
Di sisi lain, Kejaksaan mengusulkan organisasi pemeluk kepercayaan dimasukkan dalam ruang lingkup ormas, sehingga RUU Ormas harus disinkronkan dengan UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Sedangkan bagi Pansus, RUU Ormas menjeneralisasi organisasi asing sebagai ormas asing, "tidak membedakan apakah organisasi tersebut lembaga penyandang dana? Perpanjangan pemerintah? Atau NGO (LSM) asing?" jelasnya.
Sehingga, Ronald lebih jauh menilai, setiap institusi yang terkait dalam pembahasan RUU tersebut tampak menginginkan 'pembagian jatah' mengurus ormas. "Contohnya Kemenlu bersedia 'pasang badan' untuk pendaftaran ormas asing, Kepolisian menginginkan UU yang lebih tegas agar mereka bisa menindak ormas 'nakal'", katanya.
"Kejaksaan meminta penanganan ormas harus menggunakan pendekatan 'pencegahan' dan 'pembinaan', sehingga berada di bawah tanggung jawab mereka -serupa dengan organisasi pemeluk aliran kepercayaan- jika melakukan kekerasan, baru melalui pendekatan 'penindakan' oleh pengadilan,"
Berbeda dengan hal itu, keinginan Kemenkumham, ormas harus berbadan hukum dan agar ada tanggungjawab terhadap mereka. Sedangkan Kemenag meminta perkumpulan seperti Majelis Taklim dikeluarkan dari pengaturan UU Ormas.