“Terbukti bahwa Pemerintah bukanlah pemerintah yang bertugas untuk menyejahterakan rakyat (pekerja/buruh) sebagaimana diamanatkan UUD 1945,” ujar Sekjen KAJS, Said Iqbal, Rabu (14/12).
Menurut KAJS, ketika pemerintah mengajukan rencana revisi UU Ketenagakerjaan, maka pemerintah akan mengubah dan memasukkan hal-hal yang sangat merugikan kaum buruh, berikut alasan buruh menolak revisi UU Ketenagakerjaan:
a. Pemerintah tidak akan membatasi hubungan kerja dengan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) atau pekerja kontrak, mempekerjakan pekerja dari perusahaan outsoursing atau perusahaan labour supplier di dalam perusahaan prinsipal, sehingga pekerja tersebut bisa dipekerjakan pada semua lini produksi yang merupakan core business perusahaan.
b. Pemerintah akan mengurangi ketentuan mengenai besaran pesangon.
c. Pemerintah akan membuat pengaturan PHK akan lebih dipermudah, sehingga pengusaha lebih leluasa untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya tanpa proses yang berbelit-belit seperti yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 sebagai bentuk perlindungan atas jaminan pekerjaan (job security) yang diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUN NRI Tahun 1945.
d. Pemerintah akan membuat ketentuaan tentang peninjauan perubahan besaran Upah Minimum dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali, dan tidak lagi setiap tahun sekali.
e. Pemerintah akan membuat ketentuan mogok kerja lebih diperketat atau dipersulit, dan akan membuat aturan hukuman yang berat bagi pekerja yang mogok kerja.
“Draft RUU Revisi UU No. 13 Tahun 2003 tersebut (pada 2006) dibuat oleh Menaketrans di bawah supervisi BAPPENAS atas permintaan IMF (International Monetary Fund) melalui World Bank mewakili kaum kapitalis-neolib,” paparnya.
Untuk itu KAJS menegaskan, yang paling dibutuhkan oleh kaum pekerja Indonesia saat ini, pemerintah harus menegakkan hukum atas segala ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan saat ini, serta peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan lainnya.
“Akibat lemah dan tidak berfungsinya secara efektif pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan, maka segala pelanggaran hukum yang nyata-nyata dilakukan oleh pengusaha praktis tidak ada penindakan sama sekali oleh Pemerintah,” terangnya.
Selain itu, lanjutnya, laporan pekerja kepada Polisi atas terjadinya tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran dalam bidang ketenagakerjaan yang dilakukan pengusaha, tidak diproses sebagaimana mestinya. Akibatnya, pelanggaran demi pelanggaran hukum oleh pengusaha semakin merajalela dan menyengsarakan pekerja.
Mestinya, Pemerintah dan/atau DPR RI segera memperbaiki sistem pengawasan ketenagakerjaan secara nasional, dengan membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pengawasan Ketenagakerjaan yang melibatkan unsur tripartit, kepolisian dan kejaksaan, dengan fungsi utamanya melakukan penindakan atas setiap pelanggaran hukum ketenagakerjaan, dan mencabut UU No. 3 tahun 1951 yang sudah tidak lagi efektif sebagai akibat otonomi daerah.
“Dengan mengaca pada draft RUU Revisi UU No. 13 Tahun 2003 pada tahun 2006, maka kaum pekerja berkeyakinan bahwa revisi sekarang ini tidak akan jauh berbeda dari yang dilakukan oleh Pemerintah pada tahun 2006. Untuk itu, kami minta kepada Presiden Republik Indonesia memerintahkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Hukum dan HAM membatalkan pengajuan revisi UU No. 13 Tahun 2003 ke DPR RI. Kepada Pimpinan DPR RI dan Pimpinan Baleg DPR RI tidak memasukkan revisi UUK No. 13 tahun 2003 ke dalam Prolegnas 2012,” tegasnya.