Afghanistan sempat terisolasi dari teknologi ketika kelompok militan Taliban berkuasa pada 1996-2001. Kelompok ini bersifat ultra konservatif, menolak segala teknologi modern seperti internet dan bahkan televisi. Namun setelah rezim itu mulai terdesak pada 2001, negara ini langsung ikut melesat ke abad 21.
Sejumlah pengamat menyampaikan, penerimaan terhadap teknologi baru akan membantu menyelamatkan diri dari kemelaratan selama 30 tahun. “Pemuda Afghanistan kini memiliki persepsi yang berbeda dengan pendahulu mereka karena teknologi ini,” ujar seorang editor suratkabar setempat, Shukria Barakzai, Jumat (6/3).
Menurutnya, pemuda Afghanistan tak lagi ‘terjebak’ dalam siklus perang yang seolah tak pernah tak berakhir. Mereka terhubung dengan seluruh dunia. “Sebab itulah teknologi sangat penting bagi Afghanistan,” sambungnya.
Seperti mantan dubes Taliban untuk Pakistan, Mullah Abdul Salaam Zaeef. Pria yang pernah dipenjara selama 4 tahun di Teluk Guantanamo ini tak pernah berpisah dari iPhone kesayangannya.
Pria berjanggut tebal itu tak pernah terpisah dari produk keluaran Apple kesayangannya itu. Ia menggunakannya untuk surfing internet dan mencari lokasi sulit dengan alat pelacak satelit (built-in GPS) yang ada di smart phone itu. Ia bahkan ikut ber-online banking.
“Sangat mudah dan modern, saya menyukainya. Benda ini memang diperlukan dunia, orang kan ingin maju,” pungkasnya. Menurut seorang penjual elektronik di Kabul, setiap bulan ia menjual 4 iPhone, apalagi harganya kini turun dari US$ 1.100 (Rp 13,3 juta) menjadi US$ 800 (Rp 9,7 juta).