"Revisi tersebut harus terbuka ke publik dan menyertakan perwakilan buruh dalam pembahasannya," Ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timbul Siregar, Selasa (31/1/12).
Seperti diketahui, Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) No.17 Tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sebagai acuan dasar dalam penetapan upah minimum sebagaimana amanat UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Untuk itu OPSI menghendaki agar proses pembahasan revisi Permenakertrans tersebut dilakukan secara jujur dan terbuka.
"Pemerintah dan pengusaha harus jujur melihat kondisi buruh yang terus tergerus upah riilnya dan kesejahteraannya serta jauh dari kelayakan, seperti kondisi tempat tinggal, kecukupan kalori dan sebagainya,"
Selain itu, menurutnya, dalam revisi nanti harus juga memasukkan kebutuhan sosial dan rohani seperti rekreasi, komunikasi, dan sebagainya.
"Labor cost di Indonesia masih rendah. Rata-rata upah minimum saat ini sekitar Rp.1 juta (atau Rp.5.681/jam atau USD 0.6/jam), masih lebih rendah dibandingkan upah per jam pekerja di kawasan ASEAN yang sudah lebih dari USD 1/jam," tandasnya.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Permen Nakertrans No.17/2005 disebutkan, KHL adalah standar kehidupan yang harus dipenuhi oleh seorang buruh untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non-fisik, dan sosial untuk kebutuhan 1 bulan. Upah minimum ditetapkan oleh Pemerintah. Penetapan upah minimum ini diatur dalam Pasal 89 UU No.13/2003, yang menyebutkan bahwa Upah Minimum terdiri dari upah minimum berdasarkan Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan Upah minimum berdasarkan sektor pada Provinsi dan Kabupaten/Kota. Upah minimun ditetapkan oleh Gubernur.
Hasil Penelitian Konsep Upah Minimum
Hasil penelitian ini dilakukan oleh Akatiga Foundation tentang persoalan mendasar terkait dengan penerapan dan konsep upah minimum.
Pertama, upah minimum yang seharusnya hanya berlaku untuk buruh lajang dengan masa kerja 0-1 tahun, ternyata diberlakukan juga untuk buruh dengan masa kerja hingga belasan tahun. Perbedaan upah antara buruh “baru” dengan buruh yang masa kerjanya sudah cukup lama, sangat kecil, hanya beberapa ribu rupiah.
Kedua, penelitian ini menemukan fakta bahwa 52 persen buruh sudah menikah dan memiliki tanggungan, 59 persen buruh lajang memiliki tanggungan selain dirinya sendiri. Dengan demikian, memberikan upah minimum yang didasarkan pada kebutuhan hidup buruh lajang berarti memaksa buruh untuk “berbagi kemiskinan”. Pada saat upah minimum belum mencapai 100 persen KHL, buruh masih harus membaginya dengan anggota rumah tangga lainnya.
Ketiga, 46 komponen KHL berdasarkan peraturan tersebut tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Penelitian ini menemukan bahwa setidaknya ada 163 komponen kebutuhan hidup yang harus dikonsumsi oleh buruh agar dapat hidup secara layak. Contoh komponen kebutuhan hidup yang pasti dikonsumsi (dibeli/dianggarkan dalam pengeluaran) oleh buruh tetapi tidak termasuk dalam KHL versi Permenaker 17/2005 antara lain setrika, sumbangan kemasyarakatan, dan biaya pendidikan anak untuk buruh yang sudah berkeluarga. Buruh juga membutuhkan rumah yang bersih dan sehat, sementara dalam komponen KHL, kebutuhannya dihitung hanya untuk kontrak kamar. Untuk perumahan, buruh seharusnya bisa memiliki rumah sekalipun tipe sederhana. Jadi, secara umum, dalam penelitian ini, kebutuhan hidup layak mengacu pada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi agar seorang pekerja dan keluarganya dapat hidup layak dan mampu mereproduksi kembali tenaganya sehingga menjadi lebih produktif.