Melalui kantor advokat Monang Saragih, SH & Rekan, Endang Ilyas mendaftarkan gugatan pada 13 Januari lalu. Pada tahap dismissal process Ketua PTUN Jakarta sempat menyatakan gugatan Ilyas tidak dapat diterima karena materi gugatan masuk ranah politik. Tetapi Endang Ilyas mengajukan perlawanan. Dihubungi Kamis (05/3), kuasa hukum Endang Ilyas, Monang Saragih, menyebutkan bahwa persidangan sudah berlanjut pada tahap tanggapan dari terlawan Ketua MPR. Rabu pekan depan, rencananya majelis hakim akan memberikan kesempatan pada pengajuan bukti dan mendengar keterangan ahli.
Pada persidangan 26 Februari lalu terungkap bahwa Endang Ilyas melayangkan gugatan setelah suratnya kepada Ketua MPR tidak berbalas. Endang memohon agar MPR menerbitkan ketetapan alias TAP MPR yang mengubah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sebab, pasal tadi dianggap Endang menghalangi calon-calon presiden independen. "Aturan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 selain jelas-jelas menghambat calon presiden perseorangan juga sangat bertentangan dengan beberapa aturan lainnya di dalam UUD 1945 sendiri," tulis Endang dalam surat tertanggal 7 September 2008.
Empat bulan berlalu sejak permohonan dikirimkan, Ketua MPR tidak memberikan tanggapan/jawaban. Menurut Monang, sesuai Undang-Undang, pejabat atau badan tata usaha negara yang tidak menanggapi surat permohonan sama artinya menerbitkan surat keputusan penolakan. Inilah yang lazim disebut keputusan fiktif negatif. Maksudnya, seorang pejabat tata usaha negara yang tidak menerbitkan keputusan tertulis dianggap telah menerbitkan putusan penolakan tertulis atas suatu permohonan. Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan dalam hal pejabat negara atau badan tata usaha negara tidak menanggapi atau menjawab surat permohonan, maka sikap itu dianggap sama dengan telah mengeluarkan keputusan penolakan. Sehinga, pemohon dapat mengajukan gugatan fiktif negatif ke PTUN.
Melalui pengacaranya Muhammad Rizal, Ketua MPR Hidayat Nurwahid sudah menyampaikan jawaban ke PTUN Jakarta. Ditemui Jum'at (06/3), Hidayat menilai langkah Endang Ilyas salah sasaran. Permohonan menyelenggarakan sidang MPR untuk mengamandemen pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak segampang membalik telapak tangan. Ketua MPR sekalipun tidak punya wewenang menyelenggarakan langsung Sidang Umum MPR, sebab ada mekanisme yang diatur dalam Tata Tertib MPR.
Lagipula, kata Hidayat, sidang membahas amandemen UUD 1945 bukan didasarkan pada keinginan orang perseorangan, termasuk oleh Ketua MPR. Syaratnya, ada usulan dari 1/3 anggota MPR. Jadi, kalau Endang dan kawan-kawan pengusul capres independen hendak melakukan perubahan UUD 1945, mereka harus bisa meyakinkan minimal 1/3 anggota MPR untuk melaksanakan sidang umum. "Tidak perlu menunggu dari pimpinan MPR," ujar Hidayat.
Menurut Hidayat, Ketua MPR tidak mungkin melaksanakan sendiri sidang yang membahas amandemen atas permintaan seorang warga negara. Ada prosedur yang harus ditempuh. "Kami tidak boleh menyelenggarakan sidang paripurna hanya karena ada surat dari seseorang, dan tidak bisa dilakukan amandemen hanya karena permintaan dari seseorang," ujarnya.
Untuk memperkuat argumennya, Hidayat juga menunjuk langkah yang ditempuh sejumlah penggagas capres independen ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan meloloskan capres independen ternyata sudah ditolak Mahkamah Konstitusi.