Hal itu berdasarkan pengakuan dari Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI, Lisna Yoeliani, menyatakan bahwa pihaknya telah memulangkan 193 orang hingga akhir Mei. Sementara data Kemenlu menyatakan telah memulangkan 234 orang, termasuk mahasiswa hingga Juni. Tindakan itu, pemerintah dinilai lamban, belum lagi soal akurasi data. Bahkan sumber lain menyebutkan TKI di Suriah mencapai 12.000 orang.
Untuk itu, Pemerintah diminta segera ada koordinasi serius antara kementrian dan lembaga, terutama Kemenlu, Kemenakertrans dan BNP2TKI, dan segera melakukan pendataan yang akurat agar perlindungan terhadap TKI bisa dilakukan secara bertanggung jawab.
"Segera melansir data yang sesungguhnya dari TKI yang ada di Suriah termasuk PJTKI yang mengirimkan dan daerah asal para TKI tersebut. Pemerintah harus melakukan metode 'jemput bola' untuk mengevakuasi, bukan menunggu para TKI yang melakukan kontak minta pertolongan," ujar Anggota Komisi Ketenagaerjaan DPR, Rieke Diah Pitaloka, Sabtu (9/6).
Dia menjelaskan, Indonesia sudah melakukan moratorium penempatan TKI ke Suriah sejak 9 Agustus 2011, akibat berbagai laporan tindakan kekerasan yang dialami TKI. Sehingga, tindakan kekerasan baik soal upah yang tidak dibayar, pelanggaran kontrak kerja, sampai kekerasan fisik sering terjadi di Suriah. Apalagi, ditambah kondisii pecahnya konflik di Suriah.
"Evakuasi yang dilakukan pemerintah RI terkesan lamban, terutama apabila dibandingkan dengan pemerintah Filipina yang telah melakukan pemulangan 1.300 buruh migrannya dari Suriah," paparnya.
Oleh karenanya, pemerintah diminta segera ambil langkah serius dan sigap untuk memastikan kak-hak normatif para TKI, berupa upah harus dipastikan diterima para TKI sebelum dievakuasi, Dokumen, harta dan barang milik pribadi para TKI terjamin keutuhannya.
"Segera mengevakuasi, terutama yang berada di zona konflik, menjamin kepulangan tanpa memungut biaya dari TKI sampai kembali ke daerah asal sampai selamat diterima oleh keluarga masing-masing," pungkasnya.