Cuplik.Com - Jakarta – Adakah perbedaan mendasar antara profil Partai Demokrat dan PDI Perjuangan? Tak ada! Politisi senior PAN, Amien Rais, bahkan melihat kedua parpol itu sama-sama mengabaikan rakyat, karena memaksakan diri untuk mempertahankan pendekatan neoliberalisme. dalam kebijakan ekonomi.
Hadirnya Gubernur BI Budiono di Solo kian mempertegas itu. Layak diragukan PDIP sepenuhnya mengusung ideologi ekonomi nasionalisme kerakyatan. Layak pula diyakini, PDIP tetap jalan di jalur neoliberalisme. Hadirnya Budiono memberikan pandangan ekonominya pada Rakernas PDIP, 27-28 Januari di Solo, membuat sinyalemen itu sulit terbantahkan.
Di PDIP masih ada Frans Seda, ekonom tua yang terus bercokol di partai ‘Moncong Putih’ itu. Budiono dan Frans adalah ekonom Mafia Berkeley yang menganut neoliberalisme ekonomi. Bagaimana mungkin Megawati akan berjuang membela ‘wong cilik’, sedangkan pandangan ekonominya neoliberalisme yang jelas pro-pasar dan tak memihak rakyat?
Presiden Soekarno ketika memimpin Indonesia selalu mengecam dan mencela neokolonialisme (neoliberalisme). Namun anak kandungnya justru terlihat berjalan di jalur neoliberalisme alias neokolinialisme itu.
Bagaimana bisa? Itulah problemnya jika seorang pemimpin tak punya visi-misi alternatif dan kurang cerdas melihat tantangan zaman. “Visi-misi PDIP Megawati dan Partai Demokrat SBY sami mawon (sama saja), yakni menganut neoliberalisme alias neokolonialisme,” kata Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah dan Ketua MPR dalam diskusi dengan aktivis LSM, mahasiswa, dan pers, pekan ini.
Amien melihat Mega dan SBY punya tabiat ekonomi yang sama, yakni neolib. Padahal Soekarno, juga Hatta, Sjahrir dan para founding fathers, begitu jelas dan tegas dalam melawan neoliberalisme atau neokolonialisme itu. Akan dibawa kemana Indonesia dengan neoliberalisme PDIP dan Partai Demokrat itu?
Pengamat Ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Revrisond Baswir, mengungkapkan kebijakan ekonomi neolib itu diusung Mafia Berkeley, mengadopsi kebijakan yang dirancang IMF maupun Bank Dunia. Kebijakan itu dikenal dengan sebutan Konsensus Washington.
“Tema besarnya adalah yang sekarang dikenal sebagai agenda ekonomi neoliberal. Kegagalan perekonomian orde baru adalah utang luar negeri yang sangat besar dan ketergantungan Indonesia atas utang luar negeri,” kata Revrisond.
Mafia Berkeley bersama IMF dan Bank Dunia terus berjaya merancang sistem mengontrol ekonomi Indonesia. Kebijakan ekonomi yang diambil berisi empat strategi utama, yakni: kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi industri dan perdangangan, serta melakukan privatisasi. Kebijakan yang mereka jalankan tersebut merupakan hasil rumusan dari IMF, Bank Dunia dan USAID.
Tiga agenda pertama telah diterapkan sejak awal orde baru hingga 1990-an. Sementara agenda privatisasi BUMN baru dilakukan belakangan. Empat agenda ekonomi itu, menurut Revrisond, terbukti telah gagal mengangkat kesejahteraan rakyat Indonesia di antara negara-negara Asia lainnya.
Negara-negara yang tidak mengambil resep Konsensus Washington, menggapai kualitas ekonomi yang lebih baik dibanding Indonesia. Sebutlah misalnya Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China. Akibatnya, bangunan perekonomian yang rapuh dan tidak adil, terus bercokol di era reformasi ini. Ekonomi neolib selama Orde Baru itu, kini berlanjut di era SBY yang tak kapok dan tak trauma dengan krisis moneter 1997 akibat kegagalan neoliberalisme ekonomi itu.
Karena itu, slogan ‘wong cilik’ dalam PDIP dengan mudah dibelokkan menjadi slogan ‘wong licik’ mengingat nasib kaum miskin tidak berubah signifikan dalam 10 tahun terakhir, meski Orde Baru sudah diganti Orde Reformasi. Demikian halnya Partai Demokrat. Partai penguasa ini tak mampu berbuat banyak untuk rakyat, namun beriklan politik tentang keberhasilan pembangunan selama lima tahun ini. Keberhasilan apa?.