"Memburuknya Indikator ini memang dgn jelas terlihat di banyak sektor. Di sektor perburuhan, hak asasi buruh atas upah layak terus ditekan melalui politik upah murah dgn instrumen KHL versi Permenaker 17/2005," ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, Kamis (21/6).
Ia memaparkan, bila dalam KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) standar perhitungan beras untuk buruh 12 kg/bulan/orang, namun KHL (Kebutuhan Hidup Layak) di dalam Permenakertrans nomor 17 tahun 2005, hanya 10 kg/bulan/orang.
"Ini masih jauh di bawah garis kemiskinan versi Sayogyo bila disetarakan dengan beras yaitu 270 Kg/tahun/orang atau 22,5 Kg/bulan/orang (garis minimum miskin)," paparnya.
Selain itu, lanjutnya, hak asasi buruh atau rakyat Indonesia untuk mendapat Jaminan Sosial (Jamsos) di tahun 2009 sesuai perintah UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), dibiarkan berlarut-larut hingga 2014, itu pun, kata dia, juga belum terlihat keseriusan pemerintah untuk mengimplementasikannya.
Timboel memaparkan, faktanya masih banyak buruh formal sebanyak 70% dan buruh informal hingga 97% yang belum tercover dalam jaminan sosial. Di sisi lain, lanjutnya, Hak Asasi buruh untuk berserikat terus mendapatkan tekanan dan dibiarkan pemerintah. "Union busting terjadi dimana-mana karena pembiaran dari Pengawas Ketenagakerjaan dan polri," jelasnya.
Sementara itu, selain soal upah, lanjutnya, hak rakyat mendapat pekerjaan yang layak harus diperhadapkan dengan maraknya sistem kerja outsourcing atau kontrak dan magang yang semuanya tidak memberikan job security (keselamatan kerja).
Belum lagi terkait hak pekerja mendapatkan tempat tinggal layak, pemerintah juga mengabaikan.
"KHM menstandarkan buruh Menyewa Rumah, namun dalam KHL (versi permenaker 17/2005) standar tempat tinggal buruh hanya Menyewa Kamar," katanya.
"Semuanya itu, pastinya akan memperburuk Indeks Negara Gagal bagi Indonesia di kemudian hari," tandasnya.