"Pernyataan itu adalah pernyataan yang sangat tendensius, tidak berdasar, dan lebih pada penyebaran kebohongan publik untuk kepentingan-kepetingan tertentu dari kelompok-kelompok tertentu yang tidak menghendaki diberlakukannya sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan hak konstitusional rakyat. Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya keinginan untuk menyebar intrik, fitnah dan hasutan," ujar Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Indra Munaswar, Jumat (19/10/12).
Indra menjelaskan, Di mana pun di belahan dunia ini, yang namanya sistem jaminan sosial nasional setiap negara dapat dipastikan menggunakan sistem asuransi dan bukan perusahaan asuransi. Sebab, dengan sistem asuransi, kapital yang terkumpul dari iuran yang disebut dana jaminan sosial dari peserta dapat dikelola untuk membiayai seluruh manfaat jaminan sosial bagi para pesertanya.
"Sistem jaminan sosial lebih mengentalkan sifat dan watak kegotong-royongan suatu bangsa. Yang kaya membantu yang miskin; yang kuat membantu yang lemah; yang sehat membantu yang sakit. Karena itu, perundang-undangan tentang jaminan sosial menganut prinsip kegotong-royongan. Oleh sebab itu, untuk Jaminan Kesehatan, semua orang tanpa kecuali, termasuk orang yang terpaksa harus tinggal di kolong jembatan wajib membayar iuran, tapi dibayar oleh negara," jelasnya.
Menurutnya, bagi fakir miskin dan tidak mampu untuk membayar iurannya, maka negara melalui Pemerintah yang membayar dan anggarannya diambil dari APBN dalam bentuk PBI (Penerima Bantuan Iuran).
"Mengapa fakir miskin dan tidak mampu wajib mengiur? Karena dengan mengiur, mereka punya harga diri dan martabat sebagai anak bangsa. Mereka tidak akan dilecehkan ketika datang ke RS, karena mereka sudah mengiur setiap bulan. Selama ini, orang yang fakir miskin dan tidak mampu ketika akan berobat sangat dihinakan. Dia harus mengiba-iba agar dapat berobat. Sudah banyak fakta yang menunjukkan rakyat miskin mati sia-sia tanpa terlebih dahulu diobati atau dirawat karena tak mampu. RS menolak mereka layaknya seperti mengusir hewan penyakitan," terangnya.
Terkait iuran pekerja/buruh, KAJS tetap menuntut agar kewajiban mengiur Jaminan Kesehatan bagi pekerja tetap harus menjadi bagian dari Biaya Buruh (labour cost) yang sdh berlaku sesuai UU No 3 tahun 1992 tentang Jamsostek.
"Dalam standar perburuhan internasional, sakit, kecelakaan kerja dan kematian selama dalam hubungan kerja adalah tanggungjawab pengusaha. Tetapi hingga saat ini, Menkes masih tetap ngotot untuk tetap membebabnkan iuran jaminan kesehatan kepada buruh langsung," paparnya.
OLeh karenanya, ia menyimpulkan, pelintiran-pelintiran isu tersebut patut diduga dimotori atau difasilitasi oleh pihak-pihak yang merasa akan kehilangan sumber-sumber korupsi, atau sumber-sumber rente ketika jaminan kesehatan operasional pada 1 Januari 2014.
"Yang pasti, Kementerian Keuangan, Kemenkes dan Kemenakertrans tidak dapat lagi mengendalikan secara lansung BPJS yang merupakan badan hukum publik, dan bukan lagi BUMN yang berada di bawah Kemenkue dan kementerian teknis. Belum lagi World Bank dan ADB akan kehilangan langganan utangnya untuk keperluan bantuan sosial selama ini yang hanya bersifat 'gula-gula' (carity) kepada rakyat," tandasnya.
Sebelumnya, tudingan Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Lukman Hakim, yang menilai Rieke telah melakukan pembohongan publik terkait perjuangannya mengesahkan UU BPJS yang ia anggap sebenarnya bukan jaminan sosial, juga dituding telah menerima dana dari pihak ketiga untuk pengesahan UU tersebut. Sehingga FNPBI, SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) dan beberapa lainnya akan meminta PPATK untuk membuka rekening Rieke Diyah Pitaloka, Surya Tjadra Surapati, Said Iqbal dan Prof Tabrani, yang dianggap sebagai aktor adanya UU BPJS, serta akan dilaporkan ke Mabes Polri.