Cuplik.Com - Beberapa tahun yang lalu ada sebuah sinetron dari negeri jiran âSinggapuraâ yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta di negeri ini. Judul sinetron tersebut baby moon, sebuah sinetron bergendre drama yang menceritakan keluaraga pasangan suami isteri (pasutri) karir yang memilik empat anak kembar dikehamilannya yang pertama. Bisa dibayangkan bagaimana menariknya dinamika konflik yang ditampilkan di tiap episodenya.
Tapi yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini ada satu dialog yang sangat menarik minimal bagi penulis sendiri, yaitu âapa jadinya kamu de, kalau tidak mau belajar dengan giat sejak dini. negeri kita adalah negeri yang tidak memilik daratan dan laut, kalaupun ada itu sangat kecil.â Itu sepenggal dialog antara ibu dan keempat anaknya sewaktu tidak mau mengikuti les tambahan belajar bahasa Inggris.
Fenomena mengajarkan anak berbagai macam pelajaran sejak dini dengan jadwal pelajaran yang sangat ketat ternyata tidak milik masyarak negeri tetangga saja, melainkan sudah menjadi menu masyarakat negara republik ini, khususnya masyarakat urban di kota-kota besar.
Sekilas sangat baik dan menarik menerapkan jadwal belajar yang ketat terhadap anak untuk mencapai kemampuan kognitif , satu hal positif yang perlu ditiru keluarga Indonesia. Tapi sisi yang lain mereka para orang tua lupa bahwa masa kanak-kanak adalah masa di mana seorang anak perlu dan sangat membutuhkan dunia mainnya untuk mengembangkan imajinasi-imajinasinya dalam pengembangan kemampuan sisi lainnya yaitu psikomotorik.
Disini para orang tua dituntut cerdas dapat memilihkan menu belajar yang tepat sesuai denga apa yang dibutuhkan para anak sesuai dengan tingkatan psikologinya, sehingga apa yang pelajaran yang diberikan tidak merampas atau menghilangkan masa mainnya.
Pembelajaran bahasa asing, matematika, musik, menggambar atau apaun pelajaran yang diajarkan kepada anak khususnya usia dini antara 3 â 8 tahun diharapkan menu yang disajikan adalah pembelajaran yang berbasis permainan sehingga tidak ada kesan pemaksaan atau perampasan sebagai mana apa yang penulis paparkan di atas.
âMamah dede pengen mainâ mungkin itu salah satu ungkapan seorang anak sebagai protes terhadap orang tuanya yang memaksakan menu pelajaran yang tidsk sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Tapi sayang kalimat itu hanya ada dalam imajinasi penulis sewaktu melihat ade-ade kita digiring kesekolah, tempat bimbingan belajar sedari pagi sampai sore hari. Itu semua karena ade-ade kita belum menyadari penuh apa yang dilakukannya saat ini sangat merugikan dirinya dikemudian hari ., minimal dari sisi psikologi perkembangan kejiwaannya.
Sebuah ajakan kecil untuk merubah wajah pendidikan negeri ini menjadi ramah dan menyenangkan. mungkin sangat sederhana ajakan tersebut, tetapi dibalik kesederhanaan itu ada kerja keras dalam merealisasikannya bukan..?