Juru bicara JMSPS, Affan Ramli, seperti dirilis Tempo.co.id, mengatakan bahwa tata cara duduk baik laki-laki maupun perempuan di tempat mana pun, di rumah atau di kendaraan, sepenuhnya bagian dari sopan santun lokal yang tidak punya ukuran universal.
"Sopan santun cara duduk tidak pernah diatur dalam aturan pemerintah sepanjang sejarah Aceh. Itu sepenuhnya dibentuk melalui pendidikan dan kebiasaan," ujarnya.
Menurut Affan, aturan tersebut membuka ruang yang besar bagi terjadinya kekerasan dan perlakuan yang tidak senonoh oleh kelompok-kelompok masyarakat ekstrem atau fanatik terhadap perempuan-perempuan yang mengabaikan seruan larangan duduk mengangkang saat membonceng.
Lebih lanjut, Affan berpendapat tampaknya Kota Lhokseumawe meniru cara bersyariat Taliban di Pakistan dan pemerintah Arab Saudi, bukan terinspirasi oleh Islam kultural dan sufistik Aceh.
"Taliban Pakistan melarang perempuan sekolah, pemerintah Saudi melarang perempuan menyetir mobil, dan Pemkot Lhokseumawe dengan jiwa dan semangat yang sama melarang perempuan duduk megangkang di atas sepeda motor," kata Affan.
Maka dari itu, JMSPS mengimbau masyarakat Lhokseumawe untuk mengabaikan seruan tersebut. Ini agar menjadi pembelajaran di masa yang akan datang bagi Pemerintah Kota Lhokseumawe untuk membuat pertimbangan yang matang dan cerdas ketika ingin membuat aturan atau imbauan, apalagi jika aturan itu terkait dengan syariat dan adat Aceh.
Affan menambahkan bahwa sebaiknya Pemerintah Kota Lhokseumawe belajar pada model-model pembumian syariat Islam Aceh di masa lalu dengan menghidupkan akhlak islami dan sopan santun melalui pendidikan dan kebudayaan.