Sekedar misal, masyarakat hari ini dengan mudah dapat mengakses informasi lewat internet tentang beragam peristiwa di masa lalu seperti bagaimanakah peranan Letnan Jenderal Ali Moertopo dalam merekayasa Komando Jihad pasca dieksekusinya Kartosoewirjo tahun 1962 (www.eramuslim.com), peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 yang membuat sejumlah aparat militer diadili pada tahun 2004 karena melanggar Hak Asasi Manusia (Wikipedia), lalu perisitiwa Talangsari-Lampung 1989 yang melibatkan A.M Hendro Priyono, waktu itu adalah Danrem Garuda Hitam (Wikipedia).
Yang terbaru adalah Korupsi Simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas POLRI yang sedikitnya menguasai 40 unit aset berupa rumah, lahan, dan apartemen, yang terlacak dari Surakarta hingga Australia (Tempo.co), Penyerbuan Mapolres OKU oleh oknum TNI dari Yon Armed 15/76 (Tempo.Co), peristiwa penembakan di LP Cebongan (Tempo.co), lalu Densus 88 yang main tembak sehingga menuai kritik dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj (Arrahmah.com), termasuk peristiwa perkosaan terhadap seorang tahanan narkoba berinisial FM, 24 tahun. FM menjadi korban pemerkosaan oleh polisi yang bertugas di Satuan Narkoba Kepolisian Resor Poso (Tempo.co)
Berkenaan dengan hal itu, Umar S. Radic, Pemerhati Gerakan Politik-Ideologis, menyampaikan keprihatinannya agar TNI-POLRI menginstrospeksi diri secara terus-menerus agar berbagai pelanggaran kode etik kelembagaan yang dilakukan oleh oknum aparatus negara represif (TNI-POLRI) dapat diminimalisir sampai ke titik nol.
"Bukan hanya itu, bahkan kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM seperti Munir serta percobaan pembunuhan terhadap aktivis anti-korupsi O'ushj Dialambaqa, Direktur PKSPD Indramayu, jangan terulang lagi. Dalam hal ini Polres Indramayu harus transparan dengan perkembangan kasus O'ushj tersebut," pungkas Radic.