Kesenian sandiwara biasanya diadakan usai musim panen tiba, yang memang sebagian masyarakatnya para petani setiap menyelenggarakan, khitanan, pernikahan atau perayaan ulang tahun.
Kesenian sandiwara bisa dikatakan unik dan menarik, karena para pemainnya mempunyai ragam kostum. Di atas panggung beberapa pemain menggunakan kostum kerajaan lengkap dengan keris terselip di pinggang, namun berinteraksi menggunakan bahasa khas Indramayu.
"Ya kalau yang besar itu namanya buta, sosok raksasa jahat," tunjuk pembina sandiwara grup Dwi Warna, Syamsul Bahri (60) kepada merdeka.com, di lokasi, Losarang, Indramayu, Sabtu (25/5).
Dengan sebuah panggung megah berukuran 6X9 meter, dekorasi panggung berlatar belakang hutan lengkap dengan sorotan lampu berwarna-warni. Di sepanjang mulut panggung tergantung sebuah boneka bermacam-macam. Sistem suaranya pun masih tergolong rendah, dengan dua speaker besar dan kualitasnya terdengar pecah. Selain itu, di depan panggung beraneka alat musik dari keyboard sampai gamelan turut meramaikan pementasan.
"Karena ini yang nanggep anaknya ulang tahun, kenapa itu digantung boneka, karena bapaknya pengusaha boneka, jadi gantungannya boneka. Kalau petani biasanya pakai gantungan hasil bumi," terang Syamsul.
Dari ceritanya sandiwara tidak mempunyai pakem tertentu. Biasanya adegan ke adegan mengalir tanpa menggunakan naskah ataupun latihan sebelum pertunjukan dilaksanakan. Namun dari permintaan penyewa atau sang penanggap biasanya sering meminta lakon Majapahit.
"Kebanyakan minta lakonnya variasi, tapi selalu diselipkan lawakan, orang minta yang lucu karena lebih menghibur. Kalau di Jawa Tengah sampai Timur namanya ketoprak, nah di sini sebutannya sandiwara," ujar Syamsul.