Hal itu diungkapkan dalam diskusi ramadhan yang diadakan oleh Media Online Cuplik.com dengan tema "Membedah Raperda Indramayu tentang Perlindungan Ketenagakerjaan". Dihadiri oleh perwakilan SBI (Serikat Buruh Indramayu), SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) Indramayu , PBHBM (Pos Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat) Indramayu, SeGI (Serikat Guru Indramayu), Forwaja (Forum Warga Jatisawit Lor), JW (Journalist Watch), dan beberapa aktivis lainnya, Minggu (14/7).
"Kami menolak Raperda ini, harusnya berbeda peraturannya antara burh lokal dan buruh migran," ujar Ketua SBMI Indramayu, Juwarih.
Juwarih menjelaskan, Buruh Migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) harusnya menginduk pada UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN (Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri) yang memiliki badan sendiri yaitu BNP2TKI.
Sedangkan untuk buruh lokal, lanjutnya, harus merujuk pada UU 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. "Dengan adanya Perda seperti ini jelas ada kerancuan," tegasnya.
Senada dengan itu, anggota SBI, Iin, menegaskan sebenarnya untuk buruh lokal seperti di PT Pertamina, sangat jauh berbeda sistem perlindungannya dengan buruh migran. Sehingga ia meminta agar Raperda tersebut ditinjau ulang.
Sementara menurut praktisi hukum dan pendiri PBHBM, Sahali menjelaskan, dalam Raperda Perlindungan Ketenagakerjaan ini terlihat sangat absurd dan tidak fokus.
"Di ketentuan umumnya saja absurd, tidak jelas, tenaga kerja yang dimaksud itu apa saja. Selain itu sangsinya hanya sebatas sanksi administrasi, saya tidak melihat ada sanksi pidana yang disinergiskan dengan UU terkait," jelasnya.
Dari Ketua Serikat Guru Indramayu, Muhammad Iyus Kuswandi juga berkomentar, Raperda Perlindungan Ketenagakerjaan ini jika diperuntukkan untuk umum, maka guru honor dan pekerja lainnya juga harus termasuk, tidak hanya Buruh Migran dan lokal saja.
"Permasalahan guru honorer adalah pemecatan, kami dari SeGI melihat ada kaitannya dengan Raperda ini, karena menurut kami ada penggabungan antara UU 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU 13 2003 tentang Ketenagakerjaan," tandasnya.
Tanggapan Anggota DPRD Indramayu
Sementara sebelumnya, menurut Anggota DPRD Indramayu, Dalam SH KN dari fraksi Kebangkitaan Bangsa menjelaskan, Raperda tersebut awalnya memang diusulkan untuk dipisah antara buruh lokal dan migran, namun hal itu ditolak oleh eksekutif melalui Dinsosnakertrans Indramayu.
"Ternyata keinginan eksekutif itu digabungkan menjadi (Perlindungan) ketenagakerjaan. Menurut eksekutif itu harus diperlakukan sama (buruh migran dan lokal -red)," jelasnya.
Bahkan, Dalam sendiri mengusulkan agar Perda perlindungan harus dipisah, mengingat di Indramayu merupakan lumbungnya TKI dan menjadu penyumbang PAD milyaran rupiah setiap bulannya. Baik sebelum penempatan maupun pasca penempatan.
"Lebih baik memang spesifik. Menurut saya harus berbeda, karena Burmig (Buruh Migran) harus berurusan dengan luar negeri, ada paspor dan lain-lain," katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, disatukannya Perda tersebut, pihak eksekutif beralasan karena demi efektifitas anggaran. "Biaya Raperda juga mahal bahkan sampai ratusan juta per satu Perda," pungkasnya.