Cuplik.Com - Jakarta - Kendaraan dinas untuk para pejabat di kementerian dan lembaga dari tingkat pusat hingga daerah dialokasikan sebanyak Rp. 2,57 Trilyun. Penganggaran pengadaan tersebut disesuaikan dengan besaran yang bervariasi, mulai dari harga yang terendah yaitu Rp 18,9 Juta hingga yang termahal yaitu Rp 2,8 milyar rupiah. Hal tersebut juga disesuaikan dengan standar biaya di berbagai daerah, mulai dari yang termurah di Jakarta hingga yang termahal di Papua.
Data tersebut diungkap Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) dalam rilis yang diterima
Cuplik.com baru-baru ini. Melalui Koordinator Advokasinya,
Maulana, Fitra menyayangkan jika anggaran sebesar itu malah digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk mudik.
"Adalah dzolim jika menggunakan sesuatu tidak sesuai peruntukannya. Pemakaian kendaraan dinas untuk keperluan pribadi jelas tidak menghiraukan rasa keadilan dan kepatutan," tegas Maulana.
Pejabat, tambahnya, bisa memakai kendaraan pribadinya, atau sewaan, bahkan bisa berbaur dengan masyarakat dengan memakai kendaraan umum. Apalagi setiap jelang lebaran, para pejabat ini sudah dibagikan tunjangan hari raya.
Apalagi, dalam rilis tersebut, Penggunaan kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi bertentangan dengan PMK No. 112/PMK.02/2012. Dalam peraturan itu, pengadaan kendaraan dinas yang sumber uangnya dari APBN ditujukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan sarana transportasi darat untuk pejabat negara, angkutan pegawai, operasional kantor atau lapangan. Kendaraan dinas ini bukan untuk kepentingan pribadi atau keluarga.
Oleh karenanya, penggunaan kendaraan dinas untuk mudik adalah tindakan yang tidak etis
dan tidak patut, karena tidak sesuai dengan peruntukan diadakannya kendaraan dinas tersebut. Kendaraan dinas bukan untuk kepentingan pribadi. Selain itu, penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan pribadi juga bertentangan dengan asas pengelolaan keuangan negara yang diatur dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, bahwa pengelolaan keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
"Untuk itulah kami meminta DPR agar tidak diam dalam menyaksikan penyalahgunaan tersebut. Sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan, DPR hendaknya memanggil mitra kerjanya agar konsisten mengelola keuangan negara," tutup Maulana.