"Saya belum melihat ada urgensi yang mendesak, karena MK masih bisa berjalan normal dengan delapan hakim konstitusi yang ada. Belum ada hal ikhwal yang memaksa yang menyebabkan kelumpuhan MK, yang pada kondisi tersebut menuntut presiden mengeluarkan Perpu," ujar Anggota Komisi III DPR, Aboe Bakar Al Habsyi, Sabtu (19/10/13).
Menurutnya, meski dalam syarat penerbitan Perppu adalah hak subyektif presiden, yang nantinya akan diuji secara obyektif oleh DPR sebagaimana ketentuan pasal 22 ayat 2 UUD 1945, namun mengenai persyaratan, proses seleksi, dan penjaringan masih bisa dilakukan dengan UU MK yang ada."Bilapun ingin dilakukan revisi dapat ditempuh jalur reguler sebagaimana diatur dalam UU no 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," jelasnya.
Ketua DPP PKS ini juga menambahkan, Perppu No 1 Tahun 2013 tentang MK itu harus dilihat dari dua sisi, pertama dari sisi kontennya, dan kedua dari konteks bentuknya."Soal ini, ada tiga isu utama yang diatur oleh Perppu (No 1/2013 tentang MK -red) tersebut," paparnya.
Pertama, persyaratan hakim MK yang tidak boleh menjadi anggota parpol selama 7 tahun sebelumnya. Kedua mengenai mekanisme seleksi yang menggunakan panel ahli. Ketiga, dibentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dibentuk permanen untuk melakukan pengawasan terhadap hakim MK."Mengenai persyaratan hakim MK yang tidak boleh menjadi anggota parpol 7 tahun sebelum diusulkan, saya kira cukup baik. Hal ini untuk meningkatkan independensi hakim, agar meyakinkan publik bahwa mereka tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik. Namun, bila mau konsisten seharusnya calon juga dipersyaratkan tidak boleh menjadi aparatur negara atau PNS selama 7 tahun sebelumnya. Karena MK tidak hanya menyidangkan persoalan politik, namun juga materi yang berhubungan dengan pemerintahan," terangnya.
Sedangkan terkait pembentukan Panel Ahli, ia menilai baik karena untuk menjaga kualitas hakim MK. "Agar ada standarisasi kemampuan melalui uji keahlian dibidang hukum dan konstitusi," katanya.Sementara untuk pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) menurutnya tidak perlu, "Karena pengaturan yang serupa sudah pernah disidangkan oleh MK, yang kemudian pasal tersebut dibatalkan," jelasnya.
Pasal tersebut mengatur komposisi majelis kehormatan hakim MK dengan memasukkan unsur DPR, pemerintah, MA, Komisi Yudisial (KY) secara permanen justru akan mengancam dan mengganggu kemandirian hakim MK."Adanya keempat unsur itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena mereka dapat menjadi pihak yang berperkara di MK," tegasnya.
Sehingga dari paparan tersebut, ia menyimpulkan bahwa perubahan UU MK melalui Perppu dinilai tidak pas."Saya rasa juga tidak pas, karena sebenarnya tiga konten yang berkaitan dengan, persyaratan hakim MK, penjaringaan dan seleksi, serta pengawasan hakim MK lebih cocok diatur dalam revisi UU MK," pungkasnya.