Berikut isi surat tersebut:
PEMERINTAH SBY INGKAR BATALKAN PENCABUTAN SUBSIDI BBM BAGI NELAYAN
PEMERINTAH SBY YANG INGKAR JANJI, NELAYAN YANG DIPUKULI DAN DITAHAN POLISI
Yth: Bapak Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono
Assalamualaikum Wr Wb,
Apa Kabar Pak Presiden? Semoga Allah SWT memberikan pencerahan pada hati dan batin kita.
Bapak Presiden, beberapa waktu lalu melalui release yang saya sampaikan secara terbuka, saya sudah utarakan keberatan saya mengenai”pencabutan subsidi BBM bagi nelayan”. Pencabutan tersebut bermula dari surat yang dikeluarkan BPH Migas pada tanggal 27 Januari 2014. Dengan dalih”kapal diatas 30 GT”, maka para nelayan harus gunakan solar industri yang harganya lebih dari dua kali lipat harga solar bersubsidi.
Seperti kita ketahui bersama, sebagian besar perkampungan nelayan Indonesia sedang terkena musibah banjir. Di sisi lain cuaca yang tak menentu merkasulit untuk melaut, di sisi lainnya lagi Pemerintahan Bapak SBY “membuka” pintu bagi serbuan ikan impor. Belanja solar bagi nelayan habiskan 60% modal saat melaut. Apabila gunakan solar industri maka pengeluaran untuk solar meningkat 85%-90%.
Pak SBY tentu masih ingat tanggal 5 Feberuari 2014 para nelayan Jawa Tengah dan Jawa Timur melakukan aksi ke Istana dan Kementerian ESDM. Pada hari yang sama menjelang sore pemerintah Bapak melakukan rapat dan diputuskan surat itu dicabut, ditandatangani oleh empat instansi yang mewakili, dari Ditjen Migas oleh M Hidayat, Ditjen Perikanan Tangkap KKP oleh M Zin H, BPH Migas oleh A Muhaemien dan dari PT Pertamina oleh Deny Djukardi.
Pak SBY, Presiden Republik Indonesia, tahukah Bapak ternyata hingga saat ini para nelayan tersebut masih harus gunakan solar industri yang harganya per liter berkisar antara Rp. 11.500 - Rp. 13.000 sementara harga solar bersubsidi hanya Rp. 5.500 per liter.
Apabila Pemerintah Bapak berargumen bahwa kapal nelayan diatas 30 GT milik pemodal besar sepertinya pemikiran tersebut harus dikaji ulang. Kapal nelayan 29 GT hingga 35 GT sebenarnya milik nelayan dengan permodalan yang tak jauh beda. Bahkan jika ditinjau dari perlengkapan bisa saja kapal 29 GT modalnya lebih besar.
Pak SBY, jika yang dimaksud oleh BPH Migas tentang kapal skala industri seharusnya kapal-kapal yang ukurannya 100 GT keatas karena pasti dimiliki oleh perusahaan perikanan. Kebijakan Pemerintahan Pak SBY salah alamat, yang terkena dampak pahit adalah kapal-kapal milik perorangan. Mayoritas kapal tersebut milik nelayan dengan modal yang tak besar, merupakan usaha patungan dan dioperasikan bagi hasil antara pemilik kapal dengan buruh nelayan dan ABK. Bahkan sebagian milik koperasi nelayan.
Pak SBY, kemarin 17 Februari 2014 ribuan nelayan yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu(FNB) melakukan aksi di PT Pertamina Balongan karena Pemerintahan Bapak ingkar. Sudah ada kesepakatan tanggal 5 Februari 2014, tetapi sampai saat ini kapal nelayan masih belum mendapatkan BBM subsidi. Aksipara nelayan dihadang aparat kepolisian Resort Indramayu.
Pak SBY, terjadi bentrokan antara nelayan dengan aparat polisi yang menyebabkan sepuluh orang nelayan terluka dan tiga belas orang nelayan dari Front Nelayan Bersatu sampai saat ini ditahan di Mapolres Indramayu(Ono Surono Ketua FNB dan HNSI Jawa Barat, Budi Santoso, Kajidin Ketua SNT, Buruh SBKI: Karyawan, H Sirajudin, Carkaya, Firman, Abiken, Warto, Suwenda, Ahmad Sahrani dan Khaerul Anam)
Saya, Rieke Diah Pitaloka, mendesak agar Pemerintah SBY penuhi kesepakatan” batalkan pencabutan subsidi BBM bagi nelayan”. Jangan bohongi para nelayan. Hidup mereka sudah sulit.
Kedua, hentikan tindakan represif aparat kepolisian terhadap nelayan yang sedang memperjuangkan hidupnya dan keluarganya. Bebaskan tiga belas nelayan yang hingga saat ini masih ditahan di Mapolres Indramayu.
Pak SBY, ditahun terakhir pemerintahan Bapak, apa yang Bapak cari?
DPR RI, 18 Februari 2014
Salam Juang
Rieke Diah Pitaloka
(Politisi PDI Perjuangan)
Harapannya, dengan dibacakannya surat kepada SBY tersebut, persoalan yang dihadapi nelayan segera ditindaklanjuti oleh komisi terkait. Apalagi hingga saat ini, justru nelayan yang memiliki kapal diatas 30 GT tidak dibolehkan untuk mengisi bahan bakar sama sekali. Jika persoalan ini berlarut-larut, maka ada ratusan nelayan yang menganggur dan terancam kehilangan mata pencaharian.