Hal itu dikatakan atas dugaan tim Yance yang melibatkan Muspida Indramayu (Bupati, Kapolres, Dandim) melakukan lobi ke Kejagung untuk menunda pengusutan terhadap tersangka korupsi Irianto MS Syafiuddin alias Yance dengan alasan kondusifitas menghadapi Pemilu 2014 di Indramayu.
"Dalam KUHP, tidak ada satu pasal pun upaya penegakan hukum berhenti penyidikan dengan kondisi apapun. Tidak ada alasan juga Kejagung menghentikan kasus tersebut disebabkan karena pemilu. Karena ini murni bicara penegakan Hukum. Kejagung jangan terpengaruh tentang lobi kondusifitas. Masyarakat indramayu kecewa dengan kinerja kejagung," Ujar Praktisi Hukum, Sahali SH, Sabtu (29/3/14).
Ia menjelaskan, alasan kondusifitas dalam konteks Pemilu sebenarnya tidak berpengaruh terhadap partai politik manapun. Sehingga, proses Pemilu menurutnya bukan berarti menghentikan pengusutan kasus korupsi PLTU.
"Kejaksaan Agung harus cerdas dalam menangani kasus PLTU. Karena banyak elit politik yang mempunyai kepentingan. Kalau tidak cerdas dalam menangani kasus PLTU Kejagung disinyalir ikut terlibat di dalamnya," tegasnya.
Sehingga, lanjutnya, jika demikian jelas, posisi Kejagung sudah tidak lagi bervisi untuk melakukan pemberantasan korupsi.
"Berangkat dari falsafah hukum. Biarpun langit akan runtuh penegakan hukum harus tetap ditegakkan," jelasnya.
Lebih jauh Sahali menilai, ungkapan Dandim Indramayu yang mengaku pernah mendengar Yance sering dijadikan "ATM berjalan" bagi oknum Kejagung, adalah bukti keterlibatan Kejagung yang seharusnya menjunjung tinggi independensi dalam penegakan hukum.
"Banyak tanda-tanda yang menunjukan Kejagung tidak independen, khususnya dalam kasus ini," terangnya.
Lebih-lebih, tertangkapnya buron koruptor PLTU Sumuradem atasnama Agung Rijoto (AR) seharusnya menjadi pintu masuk untuk mempermudah mengungkap yang sebenarnya.
"Apalagi AR sudah menyebut nama Yance sebagai ketua P2TUN yang bertanggungjawab. Bahkan jelas, putusan MA terhadap AR melakukan korupsi secara bersama-sama. Berarti kan dia (AR) tidak sendirian," pungkasnya.