"Berbagai macam permasalahan dasar yang dihadapi nelayan, dari mulai BBM, sarana/prasarana, SDM, permodalan, pasar, pencurian ikan dan lain-lain, menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Jokowi-JK yang akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2014 besok. Semua permasalahan dasar tersebut dipastikan dirasakan oleh seluruh nelayan Indonesia, baik yang skala kecil maupun besar," ujar Ono Surono yang juga anggota DPR dari Dapil Jawa Barat VIII, Kamis (16/10/14).
Ia memaparkan, perbedaan nelayan hanya ada pada besar kecilnya jenis masalah dari tiap nelayan, dengan perbandingan komposisi nelayan besar (di atas 30 GT) dan kecil (di bawah 30 GT) sebesar 1,3% - 98,7%. Sehingga dapat dibayangkan bahwa eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan Indonesia belum dilakukan secara maksimal. Oleh karenanya apabila ada Potensi kerugian negara sebesar Rp300 triliun, hal ini diakibatlan Illegal Fishing dikarenakan masih rendahnya nelayan Indonesia yang beroperasi di zona-zona penangkapan di wilayah perbatasan (underfishing).
"Potensi kelautan Indonesia yang mencapai 171 milyar dolar US, sangatlah tepat apabila Pemerintahan Jokowi-JK memberikan penekanan terhadap Pembangunan Ekonomi Maritim dengan doktrin baru, yaitu Indonesia sebagai poros maritim dunia," jelasnya.
Kader PDI Perjuangan asal Indramayu ini mengatakan, dalam rangka membangun poros maritim pada sektor perikanan tangkap, mestinya ada penguasaan seluruh zona penangkapan oleh Nelayan Indonesia dan bukan adanya persepsi yang berkembang di masyarakat yang mendikotomikan nelayan besar dan kecil.
"Bahkan mensetting sebuah masalah yang bertujuan terjadinya konflik antara nelayan besar dan nelayan kecil. Sangat sering kami mendengar bahwa pemilik kapal 30 GT disebut Kelompok Kapitalis/Pengusaha Besar, padahal banyak dari mereka masih nelayan kecil karena hanya memiliki satu unit saja yang didapat dari hasil menjual kapal yang 20 GT," paparnya.
Sehingga, tegas Ono, proteksi pemerintah kepada nelayan seyogyanya diberikan kepada seluruh nelayan baik yang besar maupun yang kecil.
"Kita harus yakini bersama bahwa dengan proteksi itu, akan terjadi kedinamisan usaha yang mendorong nelayan kecil untuk berhijrah menjadi nelayan besar untuk mereka dapat menangkap ikan di zona yang lebih jauh dan underfishing serta memperoleh hasil yang besar pula. Nelayan kecil tidak akan mau membuat kapal yang lebih besar dan beroperasi di zona yang lebih jauh apabila kapal besar itu tidak diproteksi oleh pemerintah," jelasnya.
Lebih jauh Ono menegaskan, menyikapi dengan akan dilaksanakannya AEC (Asian Economic Community) 2015 dan alasan rendahnya kemampuan nelayan Indonesia, ia khawatir terhadap masuknya kapal-kapal asing berskala besar dari negara lain yang akan membuat Indonesia tidak akan pernah mencapai Poros Maritim Dunia pada Sektor Perikanan Tangkap.
Oleh karenanya ia mengajak kepada semua pihak untuk fokus program pemerintah dalam memproteksi nelayan kecil untuk meningkatkan produksi dan pendapatan, mengurangi angka kemiskinan dan mendorong mereka untuk menjadi nelayan besar, serta memproteksi nelayan besar untuk mampu "bertempur" dengan nelayan-nelayan asing di zona-zona perbatasan di wilayah ZEE, Laut Lepas dan Zona Underfishing yang rawan terjadinya Illegal fishing.
"Marilah kita semua mulai berfikir bahwa musuh nelayan Indonesia yang sebenarnya adalah nelayan asing dan agen2nya yang selama ini telah banyak merugikan negara dan bangsa," pungkasnya.